Kota Pelajar, itulah julukan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Membawa label tersebut, berarti Yogyakarta harus mampu menjadi tempat yang nyaman bagi para calon generasi emas bangsa. Di sisi lain, agar simbiosis mutualisme dapat terjalin, seluruh elemen masyarakat yang telah merasakan nyaman dan tentramnya Yogyakarta juga harus turut andil menyelesaikan permasalahan yang timbul. Akan lebih baik lagi, apabila dapat mengembangkan kota ini menjadi lebih ramah dalam segala aspek dan tetap mengedepankan prinsip berkelanjutan.
sampah
Permasalahan sampah di Indonesia—khususnya Yogyakarta—telah menjelma menjadi momok menakutkan yang harus segera dituntaskan. Yap, ditutupnya TPS Piyungan beberapa tahun yang lalu masih menjadi kebingungan bagi banyak khalayak, bahkan sampai saat ini. Akan tetapi, jika ditilik lebih jauh, sebenarnya kita juga harus segera sadar dan mulai untuk mengurangi potensi timbulan sampah melalui gerakan konsumsi bijak dan menerapkan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle).
Indonesia merupakan negara dengan potensi energi terbarukan yang besar, tetapi penggunaannya masih sangat minim. Pada saat yang sama, penggunaan energi fosil yang mendominasi, terutama minyak bumi, menyebabkan tingginya emisi gas rumah kaca. Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa pada tahun 2023, emisi gas rumah kaca dari sektor energi mencapai 238,1 juta ton CO2e, meningkat signifikan dari tahun-tahun sebelumnya. Polusi udara yang berasal dari aktivitas industri, transportasi, dan pembakaran sampah terus memburuk, mengancam kesehatan dan kualitas hidup masyarakat.
Dalam rentang dua tahun terakhir, permasalahan atas pengelolaan sampah menjadi pembahasan utama di kalangan masyarakat DIY pasca ditutupnya pelayanan TPST Piyungan. Timbunan sampah muncul dimana-mana karena tidak bisa langsung segera ditangani. Dalam kurun waktu Januari 2023 hingga April 2024, rata-rata timbunan sampah yang muncul di Yogyakarta mencapai 1300 ton/hari dengan kapasitas pengelolaan sampah hanya sampai 988 ton/hari, di mana hanya 150 ton sampah yang dapat diolah perharinya. Situasi ini apabila diabaikan, dampak yang muncul akibat produksi sampah yang terus meningkat akan jauh lebih besar dari apa yang dirasakan oleh masyarakat Yogyakarta saat ini.