
Yogyakarta, 13 September 2025 – Di balik riuh kota Yogyakarta, Tim i-BambooS Universitas Gadjah Mada (UGM) memulai sebuah perjalanan yang menggabungkan sains, kearifan lokal, dan mimpi besar tentang masa depan hijau. Beranggotakan peneliti dari Fakultas Teknik, Fakultas Kehutanan, dan Sekolah Vokasi UGM, i-BambooS memfokuskan tujuannya pada riset dan pemberdayaan masyarakat berbasis bambu. Ya, dari sebuah bambu.
Kolaborasi Ilmu, Teknologi, dan Harapan
Hari itu, UGM menyambut Kelompok Tani Bina Sejahtera Bowongso dari Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo. Rombongan petani—yang sehari-hari bersentuhan langsung dengan tanah dan bambu—datang untuk belajar sekaligus berbagi pengalaman.
Agenda dibuka di Bambu Nusa Verde, pusat riset bambu yang telah menjadi rujukan internasional. Dr. Ir. Inggar Septhia Irawati, S.T., M.T., IPM, ketua tim peneliti i-BambooS, memaparkan visi besar dalam sambutannya “Bambu bukan hanya tanaman, melainkan solusi untuk air bersih, green economy, dan ketahanan lingkungan.”
Momen penting terjadi saat penandatanganan Perjanjian Kerja Sama antara Kelompok Tani, i-BambooS UGM, dan Arsinggaru. Penandatanganan ini menjadi tonggak lahirnya kolaborasi lintas disiplin yang menggabungkan teknologi budidaya, konservasi sumber daya air, dan penciptaan ekonomi hijau berbasis masyarakat.
Pelatihan Intensif dan Transfer Teknologi
Pelatihan kemudian dilakukan dengan tema: “Pemberdayaan Masyarakat Desa Bowongso melalui Transfer Teknologi Budidaya dan Penanaman Bambu sebagai Aset Ekonomi Hijau Berbasis Sosial untuk Meningkatkan Kemandirian Ekonomi dan Konservasi Sumber Daya Air.”
Para peserta mendapatkan panduan teknis, mulai dari pemilihan bibit unggul, teknik penanaman, hingga manajemen panen agar bambu tetap produktif dan ramah lingkungan. Diskusi berlangsung interaktif antar peserta pelatihan dan tim Bambu Nusa Verde yang diwakili oleh Ana selaku narasumber. Perbincangan tukar gagasan berisi ilmu penanaman, waktu panen ideal, hingga strategi memaksimalkan nilai jual bambu.
Belajar dari Maestro Bambu Tradisional
Perjalanan berlanjut ke Turgo, di lereng Merapi. Di sana, Parna, petani bambu tradisional, membuka rahasia metode stek yang ia wariskan dari leluhurnya. Dengan tangan yang terampil, ia menunjukkan bagaimana batang bambu bisa “diperbanyak” tanpa harus menebang habis rumpun induknya. Bagi para peserta, momen ini seperti membaca buku terbuka tentang filosofi keberlanjutan: ambil seperlunya, rawat sisanya.
Menutup dengan Perspektif Industri
Rangkaian kegiatan ditutup dengan kunjungan ke Java Bamboo Lamina di Potorono, Yogyakarta. Di sinilah para peserta melihat transformasi bambu pascapanen menjadi produk bernilai ekspor. Dari papan lamina, furnitur, hingga material konstruksi ramah lingkungan. Sekali lagi bambu membuktikan diri sebagai komoditas yang dapat bersaing di kancah global.
“Bayangkan, bambu yang ditanam di Bowongso dapat menjadi furnitur yang diekspor ke luar negeri,” ujar pemilik Java Bamboo Lamina dengan nada penuh keyakinan akan potensi bambu.
Menyentuh SDGs dengan Aksi Nyata
Program i-BambooS terbukti akan membantu mengentaskan kemiskinan melalui pemberdayaan ekonomi desa, menjaga air bersih melalui peran bambu sebagai pelindung mata air, menciptakan lapangan kerja berbasis potensi lokal, mendorong pola produksi dan konsumsi yang bertanggung jawab, dan melindungi ekosistem darat dengan konservasi bambu.
Langkah ini menegaskan bahwa bambu adalah simbol kemandirian sekaligus inovasi hijau. i-BambooS UGM membuktikan bahwa akademisi, kelompok tani, dan pelaku industri bisa duduk satu meja untuk memecahkan masalah air, lingkungan, dan ekonomi desa.
Dengan gemercik air yang menjadi latar, perjalanan ini bukan hanya tentang bambu, tetapi tentang menghidupkan harapan, menjaga bumi, dan merancang masa depan yang lestari. (Humas FT: Opal)