
Banjir kembali menjadi isu yang tak pernah absen setiap musim hujan. Dari Jakarta, Bali, hingga kota-kota besar lain di Indonesia, banjir kerap merugikan masyarakat, melumpuhkan aktivitas, bahkan menimbulkan korban jiwa. Lalu, mengapa masalah yang sama terus berulang?
Menurut Retno Widodo Dwi Pramono, S.T., M.Sc., Ph.D., dosen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) Universitas Gadjah Mada, banjir merupakan konsekuensi dari cara kita mengelola air dan ruang.
Tata Ruang dan Siklus Air yang Terganggu
Secara alami, hujan yang jatuh di suatu wilayah akan terserap ke tanah, dialirkan ke sungai, lalu bermuara ke laut. Namun, siklus ini kini terganggu. Alih fungsi lahan membuat tanah kehilangan kemampuan menyerap air. Ruang terbuka hijau menyusut, daerah resapan menghilang, sementara bangunan dan jalan terus bertambah. Akibatnya, jumlah air limpasan—air hujan yang tidak terserap tanah—semakin tinggi.
Limpasan ini kemudian mencari jalannya sendiri menuju sungai. Sementara itu, sungai yang seharusnya menjadi jalur utama air sering kali justru dipersempit atau ditutup oleh aktivitas manusia. Sedimentasi dan sampah memperparah kondisi, sehingga saat debit air meningkat, banjir sulit dihindari.
Menanggapi persoalan ini, Pak Widodo menegaskan pentingnya perencanaan tata ruang yang tidak hanya mempertimbangkan, tetapi juga memperhitungkan pola aliran air. Pola aliran ini mencakup bagaimana air bergerak dan berpindah tempat—baik mengalir di permukaan, meresap ke tanah, maupun berubah bentuk menjadi uap dan kembali turun sebagai hujan. Dengan kata lain, perencanaan kota harus menyediakan ruang yang jelas bagi air untuk bergerak atau berkumpul.
Selain itu, kapasitas sungai harus diperhitungkan secara cermat sehingga bisa diperkirakan volume air yang boleh dilimpaskan. Lahan-lahan seperti waduk, danau, situ, dan lahan basah lain yang berfungsi sebagai ‘tempat parkir air’ tidak boleh sembarangan dialihfungsikan.
“Air itu tidak bisa serta-merta dialihkan begitu saja. Kalau jalurnya ditutup, ia akan mencari jalan sendiri. Oleh karena itu, supaya tidak berkumpul menjadi banjir, harus kita berikan tempat untuk air itu berkumpul,” jelasnya (16/9/2025).
Strategi Kunci Kendalikan Banjir: Tata Ruang Berdasarkan DAS dan Kebijakan yang Tegas
Menurut Pak Widodo, kunci pengendalian banjir terletak pada cara kita memperlakukan Daerah Aliran Sungai (DAS).
“Kalau hulu dan hilir tidak dikelola sebagai satu kesatuan, banjir akan terus terjadi,” jelas Pak Widodo (16/9/2025).
Ia menekankan bahwa hulu dan hilir harus dikelola sebagai satu kesatuan, bukan terpisah. Sering kali suatu DAS meliputi wilayah lintas kabupaten, kota, bahkan provinsi, sebagaimana Bengawan Solo yang membentang melewati banyak wilayah sehingga pengelolaannya tidak bisa berhenti pada batas administratif. Atas dasar itu, reformasi tata ruang sebaiknya dimulai dari tata ruang fungsional berbasis DAS, kemudian diselaraskan dengan kebutuhan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dengan memandang DAS sebagai satu ekosistem utuh, risiko banjir dapat ditekan lebih efektif.
Selain perencanaan berbasis DAS, Pak Widodo menegaskan pentingnya kebijakan yang tegas. Aturan mengenai larangan membangun di sempadan sungai harus ditegakkan secara konsisten tanpa kompromi.
“Jika peraturan dirumuskan dengan benar dan dijalankan tanpa celah, masyarakat akan mengikuti dengan sendirinya. Tidak boleh ada negosiasi, tidak boleh ada praktik suap, dan aturan harus berlaku adil untuk semua orang, baik seorang jenderal maupun seorang petani,” ujar Pak Widodo (16/9/2025).
Namun, Pak Widodo juga menekankan bahwa persoalan sosial tidak boleh diabaikan. Banyak masyarakat miskin yang menjadikan bantaran sungai sebagai satu-satunya tempat tinggal, misalnya di kawasan Ciliwung, Jakarta. Secara hukum, mereka memang tidak memiliki hak untuk menempati lahan tersebut, tetapi di sisi lain, konstitusi juga menjamin setiap warga negara berhak atas tempat tinggal sebagaimana tertuang dalam Pasal 28H dan Pasal 45 UUD 1945. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban memberikan solusi yang adil, misalnya melalui relokasi atau penyediaan hunian baru yang layak, bukan sekadar melakukan penggusuran.
Dalam proses penataan tersebut, masyarakat juga perlu diberi pemahaman mengenai alasan di balik kebijakan itu. Pendudukan bantaran sungai menyebabkan penyempitan alur dan berpotensi meningkatkan risiko banjir. Pada akhirnya, kerugian akibat banjir jauh lebih besar dibandingkan biaya penataan atau relokasi. Oleh karena itu, lebih baik rugi sedikit dengan menata ruang secara benar, daripada terus-menerus menanggung kerugian besar akibat banjir berulang.
Pada akhirnya, banjir bukan sekadar fenomena alam, melainkan cerminan dari bagaimana manusia memperlakukan lingkungannya. Menata ulang tata kelola air berarti mengembalikan keseimbangan antara alam dan ruang hidup manusia. Jika tata ruang berbasis DAS dijalankan dengan disiplin, ditopang oleh teknologi, kebijakan yang konsisten, serta partisipasi masyarakat, maka banjir bisa dikendalikan.
Sumber: Wawancara langsung dengan Pak Widodo (16/9/2025)
Penulis: Radaeva Errisya