“Saat ini, kita sedang berada di era yang paling menentukan arah masa depan energi dunia. Perubahan iklim global bukan lagi hanya wacana, tetapi telah menjadi kenyataan yang kita rasakan bersama,” ujar Prof. Ir. Indra Perdana, ST., MT., Ph.D., IPM dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar pada bidang Pemuliaan dan Daur Ulang Material Anorganik di Balai Senat UGM, Rabu (2/12/2025).
Pada pidato pengukuhannya yang berjudul “Daur Ulang Baterai Ion Litium sebagai Kunci Transisi Energi Bersih yang Berkelanjutan”, Prof. Indra menegaskan bahwa transisi energi menjadi agenda global yang tidak dapat ditunda. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperingatkan bahwa tanpa upaya signifikan, kenaikan suhu global akan melampaui 1,5°C dalam waktu dekat, sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem yang bersifat permanen.
Sebagai respons, berbagai negara telah menetapkan target Net Zero Emission (NZE) pada 2050, termasuk Indonesia yang terus mendorong pemanfaatan energi terbarukan seperti tenaga air, surya, angin, panas bumi, pasang-surut, dan biomassa. Meski demikian, energi terbarukan memiliki kendala utama, yaitu bersifat tidak stabil atau intermittent.
“Untuk menjaga keandalan pasokan energi tersebut, dibutuhkan suatu sistem penyimpanan energi (energy storage) yang efisien dan tangguh,” jelas Prof. Indra.
Prof. Indra menjelaskan bahwa bahwa saat ini baterai ion litium telah menjadi teknologi dominan dalam kendaraan listrik dan sistem penyimpanan energi global. Menurutnya, peran baterai ion litium menjadi krusial karena mampu menstabilkan suplai energi dari sumber energi terbarukan yang bersifat tidak stabil.
Di sisi lain, Prof. Indra juga menyoroti persoalan strategis yang dihadapi Indonesia. Ia menjelaskan bahwa meskipun Indonesia memiliki cadangan mineral penting seperti nikel, mangan, dan kobalt, negara ini tidak memiliki cadangan litium primer yang layak ditambang. Hal tersebut, berpotensi menjadikan Indonesia bergantung pada impor litium dalam jangka panjang jika tidak ada solusi alternatif yang dikembangkan.
Pada titik inilah daur ulang baterai dapat menjadi sebagai solusi. Prof. Indra menjelaskan bahwa ketika baterai mencapai masa akhir pakai (end-of-life/EoL), performanya memang menurun, tetapi kandungan logam berharganya tetap tinggi. Dalam satu ton black mass baterai bekas tipe NCM 532, terkandung 45–60 kg litium, 80–90 kg kobalt, 190–210 kg nikel, dan 110–120 kg mangan. Jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan kadar logam yang diperoleh dari penambangan mineral di alam.
“Baterai ion litium bekas tidak sepatutnya diperlakukan sebagai limbah yang tidak bernilai, melainkan sumber daya sekunder strategis yang memiliki peran penting dalam keberlanjutan rantai pasok mineral kritis,” simpul Prof. Indra.
Dalam pengukuhannya, Prof. Indra juga memaparkan capaian riset daur ulang baterai oleh tim UGM. Teknologi yang dikembangkan telah mampu menghasilkan kemurnian dan sifat material yang memenuhi standar minimum sebagai bahan baku baterai ion litium. Salah satu terobosan penelitian tersebut adalah penerapan teknologi ultrasound, yang memungkinkan pengendalian ukuran partikel prekursor litium karbonat.
“Proses daur ulang yang dikembangkan UGM diarahkan pada kemandirian bangsa. Teknologi proses disesuaikan dengan problem riil yang ada di Indonesia,” tambahnya.
Menutup pidatonya, Prof. Indra menyampaikan bahwa transisi menuju energi bersih merupakan cita-cita bersama. Indonesia harus mempercepat langkahnya menuju masa depan di mana energi terbarukan didukung oleh sistem penyimpanan yang andal dan ramah lingkungan.
“Akan sangat ideal apabila di masa depan sebagian besar baterai yang digunakan di Indonesia dan juga dunia dapat dibuat dari material hasil daur ulang. Dengan demikian, baterai tidak menjadi beban lingkungan, tetapi justru bagian dari siklus ekonomi yang regeneratif,” tutup Prof. Indra. (Humas FT: Radaeva E)