Kebijakan mandatori pencampuran bioetanol 10% pada bahan bakar (E10) dinilai sebagai langkah positif dalam mendorong kemandirian energi nasional. Namun, implementasinya memerlukan kesiapan menyeluruh di berbagai sektor. Hal tersebut disampaikan Prof. Ir. Tumiran, M.Eng., Ph.D., IPU., Pakar Energi sekaligus dosen Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi UGM, dalam wawancaranya dengan Investor Market Today BeritaSatu, Jumat.
Kementerian ESDM sebelumnya menyampaikan bahwa kebutuhan etanol untuk memenuhi E10 mencapai sekitar 1,4 juta kiloliter (kL) per tahun. Menanggapi hal ini, Prof. Tumiran menilai bahwa tolok ukur keberhasilan E10 tidak hanya sebatas pada terpenuhinya pasokan etanol.
“Produksi etanol perlu dilihat dalam skala kebutuhan energi nasional. Konsumsi minyak dan BBM Indonesia berada di kisaran 1,5 juta barel per hari. Jika ingin mengurangi impor melalui etanol, perhitungannya harus realistis—mulai dari kapasitas produksi, kebutuhan bahan bakar, hingga dampak fiskal dan devisa,” jelasnya.
Menurutnya, keberhasilan E10 membutuhkan koordinasi lintas-kementerian. Selain Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian berperan penting dalam menjamin pasokan bahan baku seperti tebu, jagung, dan ubi. Pemerintah daerah juga harus dilibatkan untuk menyiapkan lahan dan rantai pasok.
“Roadmap nasional, pemetaan pabrik, hingga alokasi lahan harus dirancang agar kebijakan tidak terpusat dan manfaat ekonominya dapat dirasakan daerah,” tegas Direktur Engineering Research and Innovation Center (ERIC) FT UGM tersebut.
Prof. Tumiran juga menyoroti aspek fiskal dan regulasi. Ia menilai perlu adanya kajian khusus terkait pengenaan cukai pada etanol. Selama ini etanol identik dengan produk industri alkohol, sehingga skema perpajakannya masih menjadi kendala.
“Jangan sampai etanol untuk BBM terhambat regulasi cukai. Jika ingin memajukan energi terbarukan, model bisnis dan skema pajaknya harus mendukung,” ujarnya. Ia bahkan mendorong pembentukan badan usaha khusus energi terbarukan untuk mengelola industri bioetanol secara lebih terintegrasi.
Lebih lanjut, ia menyebut sejumlah wilayah seperti Jawa Timur, Lampung, dan sebagian Sumatera Selatan berpotensi menjadi sentra produksi karena sudah memiliki lahan tebu dan pabrik gula. Pembukaan lahan baru dimungkinkan, tetapi harus memperhatikan aspek keberlanjutan, agronomi, serta kesejahteraan petani.
Di sisi hulu, inovasi juga wajib menjadi prioritas. “Jika ingin E10 berhasil, produktivitas harus meningkat. Perlu terobosan dalam pembibitan, mekanisasi, pemupukan presisi, dan peningkatan rendemen tebu. Tidak bisa hanya mengandalkan cara konvensional,” tutupnya.
Sumber: Tumiran, Pakar Energi UGM tentang Mandatori E10: “Harus Ada Koordinasi Lintas-Kementerian” – jteti ft ugm
Penulis: Rasya Swarnasta