Sistem pengolahan sampah mulai menjadi evaluasi dalam beberapa tahun terakhir. Jutaan ton sampah yang diproduksi setiap hari nyatanya belum sepenuhnya diolah dengan baik, khususnya di Yogyakarta. Masyarakat juga mulai resah ketika Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan kembali ditutup hingga menyebabkan beberapa titik kota menjadi tempat pembuangan darurat. Salah satu inisiator dalam menyelesaikan masalah pelik ini adalah Yuris Sarifudin, alumnus Fakultas Teknik UGM sekaligus Founder PT Daur Ulang Indonesia yang mengubah sampah rumah tangga menjadi bahan baku material industri.
“Sampah itu kan benar-benar kompleks, dan Jogja sendiri belum selesai daruratnya. Menariknya, selain masalah sampah itu sendiri, potensi materialnya itu besar. Apalagi memang kami background-nya di bangunan. Kalau kita bicara bahan material yang ada sekarang, hampir semuanya itu tidak sustain,” ujar Yuris dalam Podcast Lestari Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM pada Senin (15/1). Menurutnya, sampah plastik memiliki potensi besar untuk menjadi bahan-bahan bangunan yang kokoh. Tentunya, Yuris mengakui bahwa mengubah gunungan sampah menjadi material yang bisa digunakan kembali, tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Selama ini masyarakat cenderung membuang sampah tanpa memilahnya terlebih dahulu, dan inilah yang mengakibatkan proses pengolahan sampah menjadi rumit. Yuris menjelaskan, sampah yang tidak dipilah selamanya akan menjadi sampah. Memilah sampah pun memiliki berbagai tahapan. Contohnya, memisahkan antara sampah organik dan anorganik adalah tahap pertama yang disebut segregate. Sedangkan di tahap selanjutnya, sampah anorganik akan disortir kembali sesuai jenis-jenisnya. Sayangnya, serangkaian proses tersebut belum sepenuhnya mampu mengolah seluruh jenis sampah. Sampah yang tidak masuk dalam kriteria tersebut disebut sampah residu.
“Agak sulit memang, karena sampah residu itu kebanyakan dari rumah tangga. Tidak semua keluarga memiliki kesadaran untuk memilah. Setelah dipilah, bisa didrop atau dikirim ke tempat kami. Untuk skala yang lebih besar, kita juga menjangkau ke industri. Kita juga bekerja sama dengan TPS 3R (Reduse, Reuse, Recycle). Kita di Klaten itu ada 36, di Sleman itu ada 32, tapi yang aktif itu 21. Terus di Bantul itu ada 29, tapi yang aktif itu 14-15,” tutur Yuris. Sampah yang dikumpulkan nantinya disegregasi dalam alat mekanik untuk mendapatkan bahan baku yang dibutuhkan dalam membuat material industri.
Setelah sampah benar-benar terpilah, barulah dapat dimasukkan dalam proses pembuatan industri material. Bahan mentah tersebut akan dilelehkan, dicampur dengan kalsium, kemudian dicetak menjadi balok dan papan. “Kita juga sudah uji emisi di proses pelelehannya. Itu CO2 nya itu ada di sekitar 110 ppm (Parts Per Million). Cukup kecil, pak. Karena memang tidak ada pembakaran terbuka. Ini kalau dengan proses pelelehan hanya sekitar segitu. Jadi cukup ramah untuk karbonnya,” terang Yuris.
Yuris turut mengiyakan bahwa kesadaran masyarakat untuk memilah sampah memang masih rendah. Padahal memilah di awal jauh lebih mudah daripada setelah menjadi tumpukan sampah. Proses memilah dan mengolah sampah yang panjang tentunya membutuhkan biaya yang besar. Yuris menambahkan, sampah idealnya adalah tanggung jawab dari penghasil sampah itu sendiri. Maka untuk mengolahnya sebenarnya adalah kewajiban masing-masing individu. Jika tidak bisa dilakukan sendiri, maka kesediaan untuk membiayai pengolahan sampah oleh pihak lain harus dilakukan. (sumber: web UGM)