Rencana pemerintah menambah opsi rumah subsidi berukuran 18 m² dalam Draft Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kepmen PKP) Nomor/KPTS/M/2025 menuai polemik di tengah masyarakat. Ukuran rumah yang tergolong kecil ini menimbulkan kekhawatiran terkait kelayakan hidup penghuninya, terutama jika digunakan sebagai hunian permanen
Ir. Ikaputra, M.Eng., Ph.D., dosen sekaligus pakar arsitektur dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menyatakan pandangannya mengenai ide rumah 18 m² tersebut. Ir. Ikaputra menyatakan bahwa sebetulnya ukuran tersebut bisa diterima jika dirancang secara tepat sebagai bagian dari konsep rumah tumbuh yang terstruktur dan berorientasi jangka panjang.
“18 m² itu merupakan standar minimum internasional untuk hunian darurat pascabencana. Konteksnya bukan untuk permanen. Jika memang ingin digunakan untuk jangka panjang, maka perencanaan tumbuhnya harus jelas,” ujar Ir. Ikaputra.
Ia menjelaskan bahwa rumah dengan luas 18 m² lazim digunakan sebagai solusi awal bagi korban bencana, seperti gempa atau banjir besar. Dalam konteks tersebut, hunian kecil dapat diterima karena bersifat sementara dan darurat. Akan tetapi, Ir. Ikaputra mengingatkan bahwa ketika konsep serupa hendak diterapkan untuk penyediaan hunian permanen bersubsidi, sejumlah syarat krusial harus dipenuhi, terutama terkait luasan tanah dan potensi pertumbuhan rumah.
Alih-alih luas bangunannya, Ir. Ikaputra justru mengkritisi skema lahan yang hanya seluas 25 m². Hal ini dikarenakan skema tersebut hanya menyisakan ruang tumbuh yang sangat terbatas, sekitar 7 m².
“Masalahnya bukan di rumah 18 meter perseginya, tetapi pada lahannya yang terlalu sempit. Idealnya, lahan harus bisa mengakomodasi pengembangan setidaknya dua kali lipat dari bangunan awal, bahkan ditambah ruang terbuka hijau,” tegasnya.
Menurut Ir. Ikaputra, rumah tumbuh yang baik membutuhkan lahan minimum sekitar 50 m². Luas tersebut dinilai cukup untuk menambahkan ruangan secara bertahap sesuai dengan dinamika kehidupan keluarga serta memungkinkan adanya elemen penting seperti vegetasi, ruang terbuka, dan sistem drainase.
Jika tidak direncanakan dengan baik, ia memperingatkan bahwa proyek rumah mikro seperti ini justru berisiko mendorong munculnya kawasan padat dan kumuh —apalagi di wilayah perkotaan yang sensitif terhadap kepadatan penduduk.
Selain rumah tumbuh secara horizontal, ia juga mengusulkan alternatif lain dalam bentuk pembangunan rumah susun sewa (rusunawa). Hal ini bisa menjadi solusi terutama di kawasan kota dengan harga lahan yang tinggi.
Lebih jauh, Ikaputra menyoroti pentingnya perencanaan rumah yang menyeluruh sejak awal, mulai dari struktur bangunan yang aman (terutama terhadap gempa), penataan ruang yang efisien, hingga peluang pengembangan di masa depan. Ia menyampaikan bahwa pengalaman UGM dalam membangun hunian pascabencana seperti gempa Yogyakarta 2006 dan letusan Merapi menunjukkan bahwa konsep rumah tumbuh berhasil diterapkan ketika desain arsitektural dan strukturalnya dipersiapkan sejak awal.
“Yang penting bukan hanya besar rumahnya, tapi bagaimana rumah itu bisa berkembang dengan aman dan manusiawi. Perencanaannya ini penting dan harus jelas dari awal karena rumah layak bukan hanya soal luas, tapi juga soal hidup yang layak di dalamnya. Jangan sampai niat baik menghadirkan hunian malah berujung pada kawasan yang tidak layak,” pungkasnya.