Kompetisi Jembatan Indonesia (KJI) yang telah berlangsung selama dua dekade akhirnya mencatat sejarah baru bagi UGM. Tim Perancang Brotoseno, beranggotakan Emmanuelle Levy Heryanto dan Rizki Haikal Pradana, berhasil meraih Juara 2 pada Kategori Jembatan Pelengkung—prestasi tertinggi UGM sepanjang penyelenggaraan KJI.
Di balik kemenangan itu tersimpan kisah tentang impian, strategi, dan kerja keras tanpa henti. “Tahun lalu aku sudah all-out, tapi belum berhasil. Tahun ini aku benar-benar total dan ingin menang,” ujar Levy membuka wawancara sore itu (22/11/2025).
Perjalanan menuju podium dimulai dengan tantangan pertama, yakni perubahan aturan KJI yang membatasi jumlah anggota tim dari tiga menjadi hanya dua orang. Situasi tersebut menuntut efisiensi tinggi sekaligus pembagian peran yang jauh lebih terstruktur. Haikal menangani desain dan analisis struktur, sementara Levy berfokus pada penyusunan Detail Engineering Drawing. Melalui pembagian peran yang jelas, mereka berhasil menjadikan tantangan ini sebagai fondasi terbentuknya tim yang kuat.
Jembatan Prabajaya: Buah dari 400 Iterasi Desain
Dalam kompetisi ini, Tim Perancang Brotoseno membawakan Jembatan Prabajaya—desain yang lahir dari proses optimasi terhadap lebih dari 400 konfigurasi jembatan. Haikal, yang telah akrab dengan dunia pemrograman sejak SMP, mengembangkan pendekatan optimasi jembatan berbasis coding untuk mencari konfigurasi paling optimal. Namun, KJI tahun ini mengunci sejumlah variabel, termasuk batas tinggi jembatan, yang memaksa mereka menyesuaikan algoritma agar tetap relevan dan akurat.
“Tahun ini banyak konfigurasi dikunci, jadi ruang improvisasi lebih sempit. Setiap variabel harus dimaksimalkan,” jelas Haikal (22/11/2025).
Upaya optimasi tak berhenti pada struktur utamanya saja. Sambungan-sambungan baja pun dioptimasi satu per satu untuk menemukan bentuk paling efektif melalui pendekatan serupa. Semua hasil pemikiran tersebut kemudian dirangkum dalam proposal yang rapi, komunikatif, dan kuat secara visual.
“Optimasi struktur yang kuat dibarengi penulisan yang rapi dan visual yang baik sehingga kami berhasil menciptakan proposal yang absolut,” tambah Haikal (22/11/2025).
Merakit Jembatan di Sela Jam Kuliah dan Akses Lab yang Terbatas
Setelah lolos ke final, desain yang semula hanya berada di layar harus diwujudkan menjadi model fisik. Tim Perancang Brotoseno melakukan fabrikasi sendiri di Laboratorium Struktur Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan (DTSL), namun tantangan terbesar bukan soal teknisnya. Laboratorium hanya beroperasi sampai pukul 16.00 WIB, padahal beberapa mata kuliah mereka baru selesai pada pukul 17.15. Akibatnya Levy dan Haikal sering kali harus menyesuaikan waktu kerja dengan sela-sela kuliah, bahkan sesekali menggunakan jatah absen demi menyelesaikan pekerjaan.
“Selama fabrikasi jembatan kita bener-bener memanfaatkan setiap sela waktu yang ada, nggak jarang juga kita memakai jatah absen,” sebut Levy (22/11/2025).
Tekanan kerja bertambah karena mayoritas tim support, terutama divisi material, merupakan mahasiswa semester tiga yang juga memiliki jadwal padat. Dalam beberapa momen fabrikasi sempat hanya dilakukan tiga orang—Haikal, Levy, dan Nando selaku team leader. Pengalaman ini membuat mereka berharap adanya dukungan lebih terstruktur, misalnya regulasi jam laboratorium yang lebih fleksibel atau pendirian sekretariat khusus untuk tim GMBB (Komunitas Gedung dan Jembatan UGM) sehingga proses kreatif, penyimpanan material, dan fabrikasi bisa berjalan lebih efisien.
“Apa yang kami kerjakan sangat produktif dan membawa nama UGM. Semoga ke depan fasilitas bisa mendukung lebih optimal,” harap Haikal (22/11/2025).
Momen Penentu: Pembacaan Lendutan Pertama
Final KJI Kategori Jembatan Pelengkung digelar pada Sabtu, 15 November 2025. Hari itu menjadi puncak dari perjalanan panjang mereka. Pada tahap final, jembatan model diuji dengan beban hingga 250kg. Tim Perancang Brotoseno menyebutkan, bahwa bukan pembacaan lendutan akhir yang paling menegangkan, melainkan pembacaan pertama. Nilai awal inilah yang menentukan prediksi lendutan akhir.
“Tren lendutannya cenderung linear, jadi kita bisa memperkirakan apakah desain kita aman atau tidak dari pembacaan pertama,” ungkap Levy (22/11/2025).
Panitia menetapkan batas lendutan maksimal sebesar 5 mm. Mengacu pada aturan tersebut, Tim Brotoseno menargetkan pembacaan lendutan awal tidak boleh melebihi 0,4 mm pada beban 20 kg. Hasilnya, jembatan mereka hanya mencatat lendutan awal 0,27 mm—jauh di bawah target. Angka ini menegaskan bahwa desain mereka berada di jalur yang tepat dan membuat ketegangan yang mereka rasakan perlahan mereda. Seiring pengujian berlanjut hingga beban 250kg, struktur Jembatan Prabajaya tetap kokoh dan tidak mengalami collapse.
Selain Tim Perancang Brotoseno, hanya tiga tim lain yang berhasil bertahan hingga tahap terakhir. Pada titik itu, mereka menyadari peluang untuk naik podium sangat terbuka. “Sebenarnya karena cuma tiga tim yang nggak collapse, kita sudah tahu bakal juara. Yang deg-degan itu juara berapanya,” ujar Haikal sambil tertawa (22/11/2025).
Tim Brotoseno berharap prestasi mereka dapat membuka jalan bagi adik-adik tingkat di tahun-tahun berikutnya. Mereka ingin pengalaman ini menjadi dorongan bagi angkatan selanjutnya untuk bermimpi lebih besar dan menargetkan gelar juara umum. Lebih dari itu, kisah mereka menunjukkan bahwa prestasi besar lahir dari perpaduan kerja keras, strategi yang matang, dan dukungan fasilitas yang memadai.
Bagi Levy dan Haikal sendiri, kemenangan ini bukanlah garis finish, melainkan pijakan awal untuk melangkah menuju kompetisi tingkat internasional.
“Selanjutnya mungkin ke kompetisi internasional, kali ya,” jawab Haikal ketika ditanya mengenai ambisi ke depannya (26/11/2025).
Penulis: Radaeva Errisya
Sumber: Wawancara langsung dengan Emmanuelle Levy Heryanto, Rizki Haikal Pradana, dan Nathanael Orlando Situmorang
Dokumentasi: Tim Perancang Brotoseno


