
Pada Selasa, 8 Juni 2025, Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Deakin University sukses menyelenggarakan CONNECT! #8, sebuah workshop kolaboratif bertajuk “Media Communication on Climate Change Policies”. Acara ini menjadi ruang transinformasi antara akademisi, pembuat kebijakan, dan praktisi lintas negara—yakni Indonesia dan Australia—dalam mengupayakan solusi komunikatif terhadap tantangan perubahan iklim.Mengangkat urgensi komunikasi yang efektif, workshop ini menyoroti bagaimana peran media sangat krusial dalam menerjemahkan kebijakan iklim yang kompleks agar mudah dipahami dan diterima masyarakat luas.
“This event is much more than a research showcase. It’s a reflection of the drive and energy between Indonesia and Australia in tackling some of the most pressing challenges of our time,” ujar Prof. Nick Birbilis, Executive Dean, Faculty of Science, Engineering, and Built Environment, Deakin University dalam sambutannya (3/6/2025).
Salah satu momen penting dalam workshop ini adalah paparan dari Wakil Menteri Komunikasi dan Digital Republik Indonesia, Nezar Patria, yang bertindak sebagai keynote speaker. Dalam pidatonya, Nezar menggarisbawahi pentingnya peran media dalam menjembatani kesenjangan antara kompleksitas hasil riset ilmiah dan pemahaman masyarakat.
“Kompleksitas ilmiah dari riset akademis sering kali menjadi kendala dalam menyampaikan pesan yang efektif. Di sisi lain, masyarakat—termasuk Gen Z yang dikenal sebagai ‘digital native’—ternyata juga bisa sangat ‘digital naive’, dan mudah mempercayai hoax,” tutur Nezar Patria (3/6/2025).
Pada sesi Project Overview, Dr. Hilya Arini mempresentasikan hasil riset kolaboratifnya dengan Prof. Xiao Liu dari Australia yang berjudul “Fighting the Infodemic: Advanced Techniques for Misinformation Management”. Riset ini menawarkan pendekatan inovatif dalam mengatasi penyebaran misinformasi, terutama yang berkaitan dengan isu perubahan iklim dan kebijakan publik, yakni website IndoClimate. Website tersebut merupakan hub informasi perubahan iklim dengan beberapa fitur penting: AI chatbot, dashboard interaktif, regulasi yang dilengkapi alat pencarian dan penyaringan, serta berita-berita perubahan iklim yang terverivikasi.
Kemudian, dilanjutkan sesi diskusi yang dipandu oleh Dr. I Made Andi Arsana selaku moderator. Pada sesi ini dihadirkan lima narasumber dari lima latar belakang yang berbeda: Dr. Ignatius Wahyu Marjaka (Direktur Tata Kelola Penerapan Nilai Ekonomi Karbon KLHK), Prof. Greg Barton (Rektor Deakin University Lancaster University Indonesia Campus), Anna Klas (Akademisi Deakin University), Kusno Wibowo (Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan DI Yogyakarta), serta Andrias Ekoyuono (Chief of AI & Corporate Strategy kumparan.com).
Dalam sesi diskusi, Dr. Wahyu menyampaikan pandangannya mengenai kesenjangan antara kebijakan iklim internasional yang terus berkembang dengan implementasi serta pemahaman di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa paska komitmen Indonesia dalam Paris Agreement, kebijakan perubahan iklim di Indonesia bertambah secara signifikan. Akan tetapi, tantangan utama justru terletak pada upaya membumikan istilah-istilah teknis seperti gas rumah kaca (GRK) agar dapat dimengerti oleh masyarakat umum.
“Setelah Paris Agreement, kebijakan iklimnya itu bertambah banyak sekali. Namun, dalam ‘bahasa dewa’ yang terminologinya sulit dipahami,” ucap Dr. Wahyu (6/3/2025).
Kusno Wibowo juga menyampaikan perspektifnya dalam tingkat regional di DI Yogyakarta. Beliau menjelaskan bahwa saat ini DI Yogyakarta tengah mengusahakan berbagai kebijakan perubahan iklim, mulai dari transportasi umum berbahan bakar listrik hingga kantor pemerintahan bersumber energi surya. Ia menekankan pentingnya mengangkat kembali prinsip “Hamemayu Hayuning Bawana,”—sebuah filosofi Jawa yang mengajarkan keseimbangan antara manusia dan alam.
Dari sisi akademisi, Prof. Barton menyoroti bahawa kurangnya literasi iklim atau informasi perubahan iklim yang tidak lengkap justru dapat berujung pada praktik-praktik keliru yang memperparah perubahan iklim, seperti pembakaran sampah sembarangan. Sementara itu Anna Klas menyebutkan bahwa pendekatan komunikasi yang mempertimbangkan nilai-nilai politik dan sosial dapat meningkatkan dukungan masyarakat terhadap kebijakan iklim.
Terakhir, Andrias Ekoyuono, perwakilann dari media, menitikberatkan pada pentingnya kolaborasi antara media, akademisi, serta pembuat kebijakan supaya informasi yang dihasilkan tidak hanya mudah dipahami, tetapi juga kredibel dan informatif.
CONNECT! #8 tidak hanya menjadi ajang berbagi pengetahuan, tetapi juga memperkuat jejaring kolaboratif antara dua negara dalam menghadapi tantangan global yang sangat kompleks. Melalui pendekatan berbasis bukti dan komunikasi yang inklusif, workshop ini menegaskan bahwa solusi iklim memerlukan sinergi antarsektor dan antarnegara—dimulai dari cara kita menyampaikan pesan perubahan itu sendiri. (Ditulis oleh Humas FT: Radaeva Errisya Syam)