Bencana banjir bandang yang melanda wilayah Sumatra tidak hanya menghanyutkan bangunan, tetapi juga memaksa ribuan warga kehilangan tempat tinggal. Menanggapi kondisi darurat tersebut, tim peneliti gabungan dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada menawarkan solusi inovatif berupa teknologi Hunian Sementara (Huntara) berbasis kayu yang mudah diaplikasikan secara mandiri oleh masyarakat.
Tim yang terdiri dari pakar lintas disiplin ini digawangi oleh Prof. Ir. Ikaputra, M.Eng., Ph.D. (Arsitektur), Ir. Ashar Saputra, S.T., M.T., Ph.D., IPM., ASEAN.Eng. (Teknik Sipil), beserta tim peneliti lainnya yakni Maria Ariadne Dewi Wulansari, S.T., M.T., Atrida Hadianti, S.T., M.Sc., Ph.D., dan Ardhya Nareswari, S.T., M.T., Ph.D.
Dalam wawancara yang berlangsung di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan FT UGM, Selasa (23/12), tim peneliti memaparkan urgensi dari inovasi ini. Dr. Nareswari menjelaskan bahwa proses rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana membutuhkan waktu yang sangat panjang. Sementara itu, korban bencana tidak bisa menunggu terlalu lama di tenda pengungsian dan harus segera mendapat hunian yang layak.
“Langkah pertamanya adalah membuat sesuatu yang mudah dibangun dengan segera. Proses menuju ke hunian tetap yang mapan di luar area rawan bencana membutuhkan banyak waktu, sedangkan korban harus segera mendapatkan tempat yang layak,” papar Dr. Nareswari.
Keunggulan utama dari desain Huntara ini adalah kesederhanaan teknologi dan fleksibilitas material. Alih-alih membiarkan kayu sisa bencana menjadi sampah atau sekadar dicacah menjadi kompos, tim UGM merancang metode konstruksi yang memanfaatkan potongan kayu pendek.
Teknologi ini tidak menuntut kayu utuh yang panjang. Kayu cukup dipotong dalam bentuk papan berukuran satu atau dua meter. Papan-papan tersebut kemudian ditumpuk dan disatukan menggunakan baut untuk membentuk kolom yang kokoh setinggi tiga meter atau sesuai kebutuhan.
“Alat yang dibutuhkan ternyata sangat sederhana, hanya bor, gergaji, dan palu. Tidak perlu pahat, serut, atau alat pertukangan canggih lainnya. Kami berharap teknologi ini bisa dikerjakan langsung oleh masyarakat dengan material yang sudah tersedia di sekitar mereka,” jelas Dr. Ashar.
Efisiensi metode ini telah teruji. Dalam praktiknya, satu unit rumah dapat diselesaikan hanya dalam waktu tiga hari oleh enam orang tenaga kerja. Tim peneliti optimis, jika diterapkan dengan sistem gotong royong, proses pembangunan akan jauh lebih cepat.
Dr. Nareswari menambahkan bahwa rancangan ini sangat terbuka untuk diadopsi oleh Pemerintah Daerah (Pemda), LSM, maupun organisasi kemanusiaan yang berpartisipasi dalam rehabilitasi dan rekonstruksi. Desain Huntara ini dirancang inklusif dan adaptif terhadap sosial budaya setempat.
“Prinsipnya, struktur utamanya terbangun dari papan, tetapi pembagian ruangnya akan sangat dikondisikan sesuai budaya masyarakat setempat, baik itu di Sumatera Barat, Aceh, maupun Sumatera Utara yang memiliki karakteristik budaya berbeda,” ungkap Dr. Nareswari.
Ke depan, Dr. Ashar dan tim berencana untuk mengembangkan teknologi tumpukan papan ini tidak hanya terbatas pada hunian. Rencananya, metode serupa akan diterapkan untuk membangun fasilitas umum mendesak lainnya secara bertahap, mulai dari balai warga, sekolah darurat, hingga tempat ibadah.
“Tentu saja yang paling primer, yaitu rumah harus jalan dulu. Baru selanjutnya kita kembangkan untuk kebutuhan fasilitas umum lainnya,” pungkas Dr. Ashar. (Humas FT: Della Febi)
