
Pulau Pasi, sebuah pulau kecil di Kecamatan Bontoharu, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, dihuni oleh sekitar 4.000 jiwa yang tersebar di delapan dusun. Transportasi utama masyarakat di pulau ini adalah kapal sehingga keberadaan dermaga dan fasilitas penunjangnya menjadi urat nadi kehidupan sehari-hari.
Dermaga tidak hanya berfungsi sebagai pintu keluar masuk orang dan barang, melainkan juga sebagai penghubung utama yang menentukan akses masyarakat terhadap pendidikan, ekonomi, hingga aktivitas sosial. Pada periode KKN-PPM UGM Selayar sebelumnya, dermaga telah dibangun sebagai infrastruktur dasar. Tahun ini, tim KKN-PPM UGM Selayar 2025 menghadirkan halte laut di ujung dermaga, sebuah ruang publik yang dirancang bukan hanya sebagai tempat menunggu kapal, tetapi juga landmark, ruang berkumpul, sekaligus ikon baru Pulau Pasi. Program kerja ini digagas empat mahasiswa Fakultas Teknik UGM: Angelina Krishna Adi (Arsitektur 2022), Bramertha Salsabella Roselin (Arsitektur 2022), Dionnicius Alfons Whyrda (Teknik Sipil 2022), dan Aditya Karunia (Teknik Mesin 2022).
Berbeda dengan Rencana Awal, Tim KKN Sigap Putar Kemudi
Tim KKN-PPM UGM Selayar 2025 mengaku bahwa pembangunan halte laut bukan merupakan rencana awal mereka. Awalnya, tim berencana membuat instalasi permainan anak-anak sebagai tempat berkumpul putra-putri Pasi. Namun, rencana tersebut ditolak oleh dosen pembimbing lapangan (DPL), Ibu Hanim Zuhrotul Amanah, S.T.P., M.P., Ph.D., karena dinilai kurang bermanfaat apbabila dibandingkan biaya yang dikeluarkan.
“Sebenarnya kita awalnya ngerencanain infrastruktur yang teknik banget, yaitu instalasi tempat anak-anak bisa bermain. Namun ternyata waktu sampai sana, plan-nya dibatalkan. Dari situ, kami berempat brainstorming dan muncul ide untuk membuat halte laut,” ujar Mertha, penanggung jawab program (19/9/2025).
Ide pembangunan halte laut muncul dari kebutuhan nyata masyarakat Pulau Pasi. Dermaga yang sudah ada memang bermanfaat, tetapi belum sepenuhnya menghadirkan rasa aman dan nyaman. Kapal yang merapat kerap bergoyang, penumpang menunggu tanpa pelindung, dan dermaga bahkan pernah dianggap angker.
Tim KKN pun mulai merancang pembangunan halte laut tersebut hanya dalam semalam. Mereka melakukan brainstorming bersama, membuat konsep desain, serta menimbang aspek material dan kondisi lapangan.
Setiap detail halte laut dirancang dengan memperhatikan fungsi. Atap sederhana dibuat agar tetap memberi perlindungan saat angin besar maupun hujan. Desain terbuka memungkinkan masyarakat tetap bercengkerama sebagaimana budaya mereka. Keenam sisi halte memungkinkan enam aktivitas berbeda berlangsung dalam satu ruang, sementara wujud fisiknya yang menonjol menjadikannya ikon baru: “Gerbang Menuju Selayar,” yang dapat terlihat dari pulau utama.
“Sebenarnya desain awalnya berbentuk T, tapi Guntur (bocah asal Pulau Pasi) bilang, kenapa nggak bikin bentuk segi enam aja, balo-balo (bagus) katanya. Lebih hemat biaya juga,” jelas Angel, menceritakan asal-usul bentuk halte laut (10/9/2025).
Manis-pahit di Selayar, Bahu-membahu Bersama Masyarakat
Pembangunan halte laut tidak mungkin terwujud tanpa kolaborasi masyarakat. Kayu bitti, material utama bangunan, sepenuhnya berasal dari hibah warga. Salah satu tokoh lokal, Pak Mukhsin, bahkan rela berhenti melaut dua minggu untuk membantu pembangunan sekaligus menggerakkan pemuda agar bergotong royong.
Keterlibatan warga terasa dalam setiap tahap. Bapak-bapak mengerjakan konstruksi, para pemuda memobilisasi bahan, ibu-ibu menyiapkan hidangan, sementara mahasiswa mendukung pekerjaan teknis. Suasana kebersamaan itu berlangsung hingga larut malam, bahkan dengan tantangan listrik yang hanya menyala pukul enam sore hingga enam pagi. Alhasil, pekerjaan manual dilakukan siang hari, sedangkan pekerjaan dengan mesin dikerjakan malam hingga dini hari.
“Kalau butuh pakai power tools, kami kerjain malam hari. Jadi dari pagi sampai sore kerja manual, istirahat sebentar, lanjut lagi sampai tengah malam, kadang sampai pagi,” jelas Adit (19/9/2025).
Tantangan lain adalah akses material. Selain kayu bitti yang merupakan material utama, material lain seperti baut tak tersedia di Pulau Pasi. “Kalau mau beli material tambahan, harus keluar pulau. Kapalnya cuma sekali sehari, jadi harus bener-bener matang perencanaannya,” sebut Dion (19/9/2025).
Melabuhkan Cerita di Tepi Samudra, Satu Kata untuk Selayar
Bagi tim KKN, pembangunan halte laut di Selayar bukan sekadar proyek fisik, melainkan ruang untuk merangkai makna. Adit menyebut satu kata yang paling mewakili: kompak. “Ngerjain dermaga yang kecil tapi butuh banyak orang, jadi kita harus saling paham” (19/9/2025). Dion memilih kata kebersamaan, karena katanya, “Ketika kita lagi lelah ada teman-teman lain yang mendorong. KKN bersama masyarakat, kita kuat,” (19/9/2025). Angel menambahkan kata pengorbanan, mengingat “Program kerja ini paling banyak menyita waktu. Bahkan ada tokoh kunci yang sampai skip melaut demi bantu kami,” (19/9/2025).
Sementara itu, Mertha memilih kata memori. “Bentuk halte ini akan membuat mereka ingat dengan momen kita ngerjain bareng. Ini proyek yang melibatkan warga, jadi ada memori yang terukir selama kita ngerjain ini,” (19/9/2025). Semua kesan itu akhirnya terikat dalam pepatah lokal Tampatta Apilajara’ Tampatta Muliang—tempat belajar, tempat pulang—yang menjadikan halte laut lebih dari sekadar bangunan, melainkan simbol rumah bersama yang penuh kenangan.
Sumber: Wawancara langsung dengan Angel, Mertha, Dion, dan Adit (19/9/2025)
Penulis: Radaeva Errisya
Dokumentasi: Tim KKN-PPM UGM Selayar 2025