
Yogyakarta, 20 Juni 2025 — Dalam satu pertemuan yang tidak dibingkai seremoni, tetapi dikemas dalam nada strategis dan penuh kesadaran kolektif, Fakultas Teknik UGM menjadi tuan rumah bagi dua belas pelaku industri baterai dan kendaraan listrik nasional, untuk membicarakan hal yang selama ini kerap ditunda tentang apa yang akan kita lakukan terhadap limbah baterai lithium, sebelum ia berubah menjadi krisis.
Dekan Fakultas Teknik, Prof. Selo, membuka pertemuan dengan ajakan reflektif:
“Bagaimana kita memanfaatkan second life battery di kalangan akademisi dan industri baterai dan kendaraan listrik nasional sehingga dapat berkolaborasi.”
Ajakan tersebut mengantar pada diskusi substantif yang dipandu oleh Prof. Indra Perdana, akademisi yang sejak awal konsisten menggarap ranah daur ulang baterai, bukan sebagai proyek akademis, tetapi sebagai tantangan kebangsaan.
Hadir pula akademisi lintas bidang yang selama ini menjadi pilar riset pengelolaan material energi di FT UGM: Prof. Bertha Maya Shopa, Prof. Himawan Bayu, Dr. Muhammad Akhsin Muflikhun, Dr. Eka Firmansyah, Dr. Yun Prihantina, dan Dr. Fitri Trapsilawati—para peneliti yang tidak asing dengan kompleksitas elektro-kimia, rekayasa material, hingga implikasi kebijakan.
Di sisi industri, dengan komposisi yang beragam namun sepakat pada urgensi yang sama, hadir para pelaku industri baterai dan kendaraan listrik nasional PT. Spora Tehnika, PT. Kajen Martaka Persada, PT. Energi Kreasi Bersama, PT. Mukti Mandiri Lestari, PT. Dinamika Teknologi Jaya, PT. Astra Honda Motor, PT. Carsurin Tbk, PT. SGMW Motor Indonesia, PT. Electra Motor Group, PT. EMI, dan AISMOLI (Asosiasi Industri Sepeda Motor Listrik Indonesia).
Pertemuan ini tidak dibatasi pada apa yang “bisa” dilakukan, tetapi justru menantang pada apa yang perlu dilakukan. Bahwa pengelolaan limbah baterai adalah soal keberanian mengambil keputusan teknis dan etik, sebelum tumpukan circular rhetoric menutupi kenyataan bahwa Indonesia sedang menuju era EV tanpa skema daur ulang yang kokoh.
“Hari ini kita duduk bersama bukan karena semuanya sudah jelas, karena terkait regulasi second life battery yang memiliki tahapan yang cukup rumit. Ada dua tipe baterai yang akan didaur ulang yaitu baterai LFP (Lithium Iron Phosphate) dan NMC (Lithium Nickel Manganese Cobals Oxide). Realitas di lapangan, limbah kedua tipe baterai ini tercampur dan menjadikan masalah baru dalam daur ulang baterai, karena itu kita perlu menyamakan persepsi antara akademisi, industri dan pemerintah,” ujar Prof. Indra dalam sesi diskusi.
Alih-alih menghasilkan MoU atau dokumen normatif, pertemuan ini justru membuka ruang pembentukan konsorsium riset-industri, bukan hanya sebagai respons atas regulasi yang akan datang, melainkan sebagai bentuk tanggung jawab kolektif terhadap masa depan yang sudah di depan mata.
Beberapa industri baterai juga menyampaikan keresahannya terhadap baterai bekas yang sudah tidak dapat digunakan. Selain itu, nilai ekonomi terkait second life battery juga menjadi poin yang disampaikan.
“Kami memiliki keresahan yang sama terkait penggunaan baterai, yang kita perlu satukan adalah peran dari dunia industri dan peran akademisi agar set the stage menjadi dasar untuk regulasi yang akan dibentuk,” tutur Andi perwakilan dari PT. Energi Kreasi Bersama.
Dalam dunia di mana industri sering bergerak cepat dan akademisi tertinggal, FT UGM memilih bergerak terlebih dahulu. Tidak untuk mengejar tren, tapi untuk mengatur irama. Karena dalam isu baterai dan daur ulang, waktu bukan sekadar variabel—ia adalah taruhan.
Pertemuan ini bukan akhir, tapi awal. Sebuah jalan pembuka dari diskusi lintas sektor yang akan terus bergulir. Dengan kesadaran bahwa isu daur ulang baterai menyentuh simpul teknis, bisnis, dan kebijakan publik, Prof. Indra Perdana menyampaikan harapannya agar dialog ini menjadi konsisten dan terstruktur.
“Kami berharap, langkah hari ini menjadi dasar bagi diskusi lanjutan yang konkret. Yang tidak hanya menghasilkan gagasan, tetapi juga mendorong implementasi nyata—hingga tercipta regulasi yang berpihak pada keberlanjutan, dan dapat dioperasionalkan lintas sektor,” tutupnya.
(Penulis: Opal/Humas FT UGM, Editor: Mega)