Masih banyak yang beranggapan bahwa memperoleh gelar Doktor, artinya mahasiswa telah purna dalam melaksanakan studinya. Tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa menyelesaikan studi doktoral, usai pula dalam riset dan menuntut ilmu. Di antara banyak orang yang berpikir demikian, masih ada insan yang tidak pernah merasa cukup dengan menuntaskan gelar doktornya dan berdedikasi tinggi untuk selalu melaksanakan riset.
Dosen Departemen Teknik Mesin dan Industri (DTMI) UGM, M. Akhsin Muflikhun, Ph.D. baru saja memperoleh pencapaian berupa menjadi salah satu dari tujuh (1 dari 7) dosen UGM dan merupakan 150 orang dari seluruh Indonesia yang masuk dalam pemeringkatan World’s Top 2 Percent Scientist 2024 yang dirilis oleh Stanford University dan Elsevier. Berdasarkan informasi yang diperoleh melalui wawancara dengan Dr. Akhsin, pemeringkatan World’s Top 2 Percent Scientist disusun berdasarkan jumlah publikasi riset dan sitasi oleh Stanford University, dengan mengacu pada kanal-kanal basis data riset seperti Scopus (yang diterbitkan oleh Elsevier), Google Scholar, dan Researchgate. Selain itu, juga dengan melihat pengaruh yang diberikan oleh riset yang dilakukan.
Dr. Akhsin sendiri memiliki 106 publikasi riset dengan 797 sitasi di jurnal internasional terindeks Scopus dan pada kanal Google Scholar, beliau memiliki 1013 sitasi, dengan bidang riset terkait synthesis nanomaterials, failure analysis, mechanics of materials, composite structures, dan hybrid laminates sehingga dinilai layak untuk masuk dalam jajaran pemeringkatan World’s Top 2 Percent Scientist 2024. Salah satu publikasi terbaru Dr. Akhsin, berjudul Promising CO2 Gas Sensor Application of Zinc Oxide Nanomaterials Fabricated via HVPG Technique yang terbit di Heliyon pada tahun 2024. Penelitian tersebut merupakan hasil kolaborasi bersama Prof. Santos dari Physics Department, DLSU, Filipina, dengan berfokus pada inovasi sensor gas berbahan nanomaterials yang praktis dan dapat dibawa dengan mudah.
Pada kesempatan kali ini, penulis bertanya langsung kepada Dr. Akhsin. Saat ditanya mengenai apakah ada riset unggulan yang dimiliki, beliau mengaku bahwasanya ia tidak mempunyai riset unggulan. “Sebagai peneliti, sepanjang hidup kita sebagai periset, kita berusaha untuk memperoleh magnum opus atau karya tertinggi. Terkadang ketika kita sudah menganggap karya A sebagai magnum opus, bisa jadi kita bisa menemukan karya lain yang lebih baik dari sebelumnya, sehingga kita berusaha semua karya kita adalah magnum opus,” tegas Dr. Akhsin. Mencontohkan penelitiannya dengan Prof. Santos, Dr. Akhsin masih memiliki keinginan untuk mengembangkan riset HVPG menjadi VVPG sehingga akan terus ada inovasi pengembangan. Dr. Akhsin membagikan sebuah motivasi dari sensei—profesor pembimbing doktoral—ketika ia menempuh studi di Jepang, bahwa lulus S-3 tidak berarti itu adalah suatu pencapaian, dengan ibarat bahwa hal tersebut sama halnya dengan menyelesaikan masa training. “Kehidupan researcher baru akan dimulai ketika lulus S-3 sehingga pengembangan ilmu yang sudah ada merupakan tantangan yang dimiliki setelah lulus,” jelas Dr. Akhsin.
Dr. Akhsin menceritakan pengalamannya ketika pulang usai menuntaskan studi S-3 dan membawa semangat tinggi untuk memulai kehidupan sebagai peneliti, situasi di kampus DTMI dan UGM secara keseluruhan masih sepi karena bertepatan dengan tingginya wabah Covid-19. Namun memasuki tahun-tahun berikutnya, mulai banyak mahasiswa yang bergabung menjadi mahasiswa DTMI, baik dari program studi sarjana, magister, maupun doktor. Dengan banyaknya mahasiswa, Dr. Akhsin memberikan sebuah kunci sukses sebagai seorang peneliti, yaitu menjaga konektivitas dengan mahasiswa, karena tentu sebagai peneliti, akan memiliki banyak keterbatasan apabila dilakukan sendiri. Oleh karena itu, perlu menjaga relasi dengan mahasiswa sebagai mitra riset melalui motivasi dan inspirasi sehingga mahasiswa dapat memiliki rasa “haus” akan penelitian. Dr. Akhsin juga menanamkan kepada mahasiswa bahwa pencapaian tertinggi bukanlah sertifikat, melainkan publikasi jurnal ilmiah.
Berkenaan dengan minat riset dari mahasiswa, Dr. Akhsin menegaskan bahwa mahasiswa di Indonesia dan luar negeri memiliki karakter yang berbeda sehingga penanganannya pun harus berbeda. Dr. Akhsin mencontohkan bahwa untuk mahasiswa sarjana, perlu ditanamkan bahwa pemeringkatan, pembelajaran, dan pencapaian, semuanya harus dicapai dan dilaksanakan secara individual agar muncul semangat. Kemudian, untuk mahasiswa pascasarjana, bisa dilakukan dengan menanamkan mindset bahwa tidak perlu menghasilkan karya terlalu besar, karena lebih baik menelurkan karya yang sedikit berbeda, tetapi hal itu adalah suatu kebaruan. Menutup wawancara, Dr. Akhsin meminjam kutipan dari komika terkenal, yakni Pandji Pragiwaksono bahwa sedikit berbeda itu lebih baik daripada sedikit lebih baik.
“Sebisa mungkin, carilah sesuatu yang beda, karena sesuatu yang beda itu pasti terlihat.”
Ir. Muhammad Akhsin Muflikhun, S.T., MSME., Ph.D
(Gusti Purbo Darpitojati, Disunting oleh Humas FT: Taufik Rosyidi)