Waduk Wonogiri terletak di Sungai Bengawan Solo yang fungsi utamanya sebagai pengendali banjir. Jumlah aliran debit air (inflow) yang masuk ke tampungan Waduk Wonogiri belum memiliki estimasi akurat. Hal ini karena besarnya daerah tangkapan air, namun jumlah stasiun hidrologi sangat terbatas. Hanya 4 dari 10 kawasan daerah tangkapan air yang belum terukur. Oleh karena itu, Kurniawan, dkk dalam karyanya yang berjudul “The Development of Ungauged-Catchment Integrated-Similarity Unit Hydrograph to Estimate Inflow of Wonogiri Reservoir” melakukan penelitian untuk menerapkan pendekatan berbasis integrated-similarity untuk merangcang unit hidrograf di kawasan tak terukur.
Penelitian ini melakukan evaluasi integrated-similarity antaran pasangan daerah tangkapan terukur dan tak terukur menggunakan parameter hidrologi yang akan digunakan untuk pemilihan daerah tangkapan penyumbang (daerah terukur dengan skor kesamaan tertinggi). Perhitungan dilakukan dengan memodifikasi unit hidrograf dari daerah tangkapan penyumbang menggunakan rasio debit puncak terhadap waktu puncak untuk menentukan unit hidrograf daerah tangkapan tak terukur. Debit puncak daerah tak terukur dihitung menggunakan perkalian rasio tangkapan tak terukur dan terukur dengan debit banjir daerah penyumbangr. Sedangkan, waktu puncak puncak dihitung menggunakan rumus empiris (waktu konsentrasi Kirpich).
Berdasarkan hasil perhitungan, debit puncak yang dihasilkan 10,9% lebih rendah dari perhtungan sebelumnya. Sedangkan, dengan siulasi HEC-HMS dengan durasi hujan esktrem 5 jam menunjukkan debit puncak sebesar 5123 m3/s (banjir 60 tahun), 7041 m3/s (500 tahun), dan 10.370 m3/s (probable maximum flood) lebih tinggi dari banjir desain (1982) untuk Waduk Wonogiri. Perhitungan ini penting dilakukan untuk memperbarui desain pengendalian banjir dan aturan operasi waduk.
Artikel lengkap dapat diakses melalui https://jurnal.ugm.ac.id/v3/JCEF/article/view/7051/3077
(Humas FT: nada)