We used to live a sustainable lifestyle (Wiratni)
Idulfitri, lebaran, selalu punya makna bagi setiap orang. Lebaran menjadi titik waktu untuk berkumpul dan mempererat hubungan dengan keluarga, tak jarang pula menjadi momen untuk bercerita atau secara personal mengingat memori masa lalu. Sebagaimana dituturkan oleh Wiratni, Ph.D., dosen Teknik Kimia FT UGM pada laman media sosialnya.
—– ## —–
Sejak pindah ke kembali ke rumah ibu saya hampir 8 tahun yang lalu, yang merupakan rumah penuh sejarah keluarga kami, traced back to the 1920’s, baru kali ini saya ‘membongkar gudang’ secara totalitas. Tadinya saya sudah siap trash bags ukuran jumbo dengan tekad baja untuk ‘membuka lembaran baru’, singkirkan barang yang saya anggap menuh-menuhin rumah.
But the thing is … everything I held in my hands swept me away in the flood of memories …
Ada timbangan (tercanggih di jamannya) yang dipakai Eyang Putri Baciro ngajari saya baking cookies untuk pertama kalinya. Masih ingat Eyang dengan sabar menjelaskan cara baca skala timbangan pada anak kelas 2 SD. Ada panggangan apem yang dipakai Eyang untuk (mem)buat apem Ruwahan … di mana saya diajari caranya buat adonan tepung beras yang menul-menul bahkan setelah apemnya dingin … masih ingat bau harum rumah Baciro setiap bulan Ruwah …
Actually seluruh rumah di jalan Wora-Wari membuat apem dan kolak lalu saling tukar menukar antar keluarga … suatu hal yang absurd untuk Wiratni umur 7 tahun, yang gak masuk logikanya. Ngapain tukar-tukaran barang yang sama?.
Saya ingat jawaban Eyang Kakung waktu saya permasalahkan soal keanehan ijol-ijolan apem itu, hahaha … Kata beliau itu tradisi yang menyenangkan, so why not?? Suddenly I feel missing him so much …, orang yang bertanggung jawab untuk gen suka tanaman di darah saya.
Di gudang saya temukan juga dandang dan ceret segala ukuran, darai XXL sampai XXS . Dari jaman di mana belum ada microwave dan dispenser . Kalau dipikir-pikir, buat apa juga saya simpan … tapi bagaimana juga saya bisa melupakan bahwa saya belajar buat carang gesing dan lontong dengan dandang-dandang ini, juga ritual tiap malam ngukus sisa makanan untuk dikukus lagi paginya kalau mau dimakan.
Keribetan-keribetan yang anehnya membuat saya sangat kangen pada masa-masa itu … So … sudah 2 hari beres-beres rumah, my trash bags are still folded neatly … I cannot let my history end up in the trash bag ….
Let’s buy more cupboards instead
Well … Selamat menyambut Idul Fitri.
—-##—-
Respon atas cerita ini pun beragam.
Melihat panci sedikit penyok dan tak mengkilat lagi, yang muncul adalah kenangan akan makanan enak yang pernah disajikan melalui racikan tangan penuh cinta di masa kanak-kanak saya, begitu respon Supriyono.
Terkait berbagai alat tersebut, saran untuk mengurangi pun ada. Namun, nilai sejarah dan memori kadang menjadi penghalang. “This is easy for me to say, but not easy to do,” terang Isna Ch. Hingga muncul saran untuk dikumpulkan dalam sebuah museum alat masak, “Gawe museum alat masak wae Win,” usul Budi Noryanto.
Terkait rantang, ada refleksi menari dari Wiratni. “Itu rantang buat beli soto, keluarga kami menyebutnya “saoto” … jaman saya SD dulu, kalau jajan take away kan bawa wadah, gak kayak sekarang semua diplastikin … dan akhirnya jadi problem sampah”. 😁
“We used to live a sustainable lifestyle, ya,” ungkap Wiratni.
Jika direnungkan, benar adanya. Kita sudah diajari berhubungan dengan alam dengan baik sejak lama. Dari hal sederhana, membawa wadah ketika belanja. (Ditulis ulang oleh Purwoko)