Saat ini sekitar 55% warga dunia tinggal di perkotaan. PBB menyebutkan bahwa pada 2050, proporsi tersebut akan meningkat menjadi 68%. Hal ini berarti tekanan terhadap lingkungan kota yang saat ini sudah cukup besar nantinya akan semakin meningkat. Salah satu karakteristik khas perkotaan adalah masalah lingkungan yang berkaitan dengan air: banjir, kurangnya air bersih, pencemaran air, dan penurunan permukaan air tanah.
Permasalahan kawasan kota yang berkaitan dengan air ini erat kaitannya dengan penambahan luasan permukaan yang tak dapat ditembus air (impervious surfaces) seperti jalan beraspal, paving, perumahan, dan sebagainya. Hal ini mengganggu daur hidrologi alami karena air hujan tidak dapat sepenuhnya diserap oleh tanah.
Salah satu solusi atas permasalahan hidrologi perkotaan ini adalah penerapan rain garden. Istilah rain garden (taman hujan) sudah mulai dikenal dan didiskusikan di media bertema arsitektur dan lingkungan di Indonesia. Namun masyarakat pada umumnya belum mengenal baik apa yang dimaksud dengan rain garden. Hal ini mungkin disebabkan oleh minimnya penerapan rain garden di kota-kota di Indonesia yang dapat dilihat langsung oleh masyarakat.
Beberapa negara yang pengelolaan air hujannya lebih maju seperti Australia, Amerika, Kanada, Inggris dan Singapura telah menjadikan rain garden bagian penting kota-kota mereka. Rain garden ada di pinggir jalan, kawasan industri, area pertokoan dan halaman rumah.
Rain garden di negara-negara tersebut adalah salah satu bagian dari infrastruktur hijau yang terbukti efektif dalam mengelola limpasan air hujan di perkotaan. Penanganan limpasan air hujan dengan teknologi infrastruktur hijau ini dikenal sebagai WSUD (Water Sensitive Urban Design), LID (Low Impact Development) atau SuDS (Sustainable Drainage System).
Lalu apakah rain garden tersebut? Apa fungsinya? Rain garden adalah taman dengan vegetasi yang didesain untuk mengumpulkan limpasan air hujan (limpasan permukaan) dari area di sekitarnya. Karena berfungsi sebagai pengumpul limpasan air hujan, maka bentuk taman ini adalah cekungan yang pada umumnya dangkal. Desainnya memungkinkan limpasan air hujan untuk masuk, meresap, menggenang sementara, dan mengalir keluar jika volume limpasan lebih besar dari kemampuan rain garden menampungnya.
Cara paling baik untuk memahami sistem ini adalah dengan melihatnya langsung. Rain garden yang telah beroperasi dan dapat dikunjungi publik di Yogyakarta ada di Universitas Gadjah Mada. Fakultas Teknik UGM memiliki taman yang dilengkapi cekungan-cekungan rain garden ini di kampusnya di Jl. Grafika No.2.
Taman bernama Taman AGS (kependekan dari Taman Arsitektur, Geodesi, Sipil) ini dibangun pada 2018, berluas 2600 m2, dan memiliki enam cekungan rain garden di bagian tengah taman dan beberapa cekungan memanjang pada tepian taman tersebut. Penerapan rain garden di Taman AGS ini adalah gagasan Ir. Didik Kristiadi, MLA., M.Arch.UD., dosen Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik UGM yang menaruh perhatian akademis di bidang desain urban berkelanjutan.
Tiap cekungan ditanami berbagai spesies tanaman yang berfungsi untuk mempercepat penyerapan air hujan ke dalam tanah dan menyerap nutrisi yang terkandung dalam air hujan. Nutrisi makro yang ditargetkan untuk diserap akar tanaman rain garden adalah N (nitrogen) dan P (fosfor). Kedua unsur tersebut pada satu sisi adalah hara penting untuk pertumbuhan tanaman, namun di lain pihak mereka merupakan polutan merugikan yang jika mengalir masuk ke sungai atau danau dalam jangka panjang dapat menyebabkan eutrofikasi. Eutrofikasi adalah berkembang-pesatnya vegetasi air dan alga yang merampas oksigen dalam air sehingga menekan kehidupan satwa air.
Selain unsur N, P, dan unsur kimia lain, polutan air hujan lainnya seperti minyak, oli, logam berat, dan padatan tersuspensi yang tercuci dari permukaan keras (jalan, atap bangunan, paving) di area tangkapan air hujan dapat disaring. Limpasan air hujan yang secara alami tersaring oleh akar tanaman dan tanah kemudian masuk ke dalam sistem air tanah dalam kondisi bersih. Dengan sendirinya, penyerapan sejumlah limpasan air hujan tersebut juga mengurangi resiko banjir dan menaikkan permukaan air tanah.
Sejak cekungan rain garden Taman AGS ditanami pada awal 2019, dapat diamati bahwa satwa yang terlihat di sekitar rain garden semakin beragam. Beberapa spesies kupu-kupu, burung, lebah, kumbang tampaknya datang karena tertarik oleh tanaman-tanaman berbunga seperti hujan emas (Galphimia glauca), lantana (Lantana camara), kana (Canna indica), rumput ekor kuda (Pennisetum setaceum) dan loropetalum (Loropetalum chinense). Katak dan serangga tanah menjadikan cekungan rain garden rumah baru mereka karena iklim mikro yang diciptakan vegetasi rain garden tersebut. Meningkatnya biodiversitas menjadi manfaat ikutan dari rain garden terutama yang didesain dengan ragam tanaman yang tinggi seperti pada Taman AGS.
Menurut Syafni Sukmana, SP., M.Sc., perancang penanaman rain garden Taman AGS, 17 spesies tanaman digunakan di rain garden dengan desain penanaman cluster/mass planting. Pada model penanaman ini, tiap spesies ditanam berkelompok dan ditanam berdampingan langsung dengan kelompok spesies lain.
Model penanaman massal ini menekan pertumbuhan gulma dan menghasilkan dampak visual yang baik. Tanaman berbagai bentuk, tekstur dan warna memberikan latar belakang menarik bagi pengunjung untuk berfoto. Rumpunan rumput ekor kuda (Pennisetum setaceum) berdaun hijau dan merah yang berbunga dramatis, misalnya, menjadi latar belakang favorit pengunjung Taman AGS untuk berfoto.
Dapat disimpulkan bahwa rain garden menawarkan manfaat lingkungan dan manfaat visual sekaligus. Manfaat lingkungannya adalah kemampuan menahan dan menyerap dan menguapkan (oleh komunitas vegetasi) limpasan air hujan sehingga mengurangi resiko genangan/banjir, mengurangi resiko pencemaran air di sungai, danau dan kawasan perairan di mana limpasan air hujan dialirkan, dan menaikkan permukaan air tanah.
Pengayaan biodiversitas (keanekaragaman hayati) pada dan sekitar rain garden adalah bonus bernilai ekologis yang tak dapat dinilai rendah. Manfaat visual diperoleh dari tanaman ornamental dan komponen taman seperti bebatuan yang meningkatkan kualitas estetis rain garden.
Dengan demikian, pada kondisi lanskap yang memungkinkan, rain garden sebaiknya mulai dipertimbangkan untuk diterapkan sebagai alternatif dari penerapan sumur resapan dan biopori yang telah dikenal luas saat ini. Sudah saatnya rain garden khususnya dan bioretention system umumnya masuk dalam diskursus perencanaan wilayah dan kota untuk pengaruh yang lebih besar terhadap kualitas pengelolaan air hujan perkotaan.
Penulis:
Syafni Sukmana
Urban horticulturist by profession.
Passionate gardening and landscaping enthusiast.
Experienced in working independently and in a team.
Love to try and learn something new