Telah terjadi perubahan paradigma mendasar dalam penanggulangan bencana. Semula, pendekatan yang digunakan adalah pasif-reaktif, yakni menekankan penanganan darurat, menjadi pendekatan aktif-preventif dengan melakukan pencegahan dan pengurangan risiko bencana. Upaya pengurangan risiko bencana dilakukan melalui manajemen bencana alam secara terpadu, meliputi siklus pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, pemulihan, dan rekonstruksi secara utuh.
Nizam menilai kearifan dan budaya lokal dalam tahapan rehabilitasi dan rekonstruksi menjadi sangat penting. Tim infrastruktur tanggap darurat UGM mengalami hal menarik terkait dengan hal tersebut saat melakukan kegiatan bantuan kemanusiaan pada bencana tsunami di Aceh. Pendekatan sosio-kultural dalam tahapan rekonstruksi dan rehabilitasi di daerah bencana sangat dibutuhkan. “Saat membangun hunian sementara di luar kawasan bencana, kesulitan pertama adalah mendapatkan tempat yang sesuai karena kepemilikan tanah. Maka, upaya yang dilakukan adalah melakukan pendekatan sosial keagamaan berdasar budaya setempat sebagai pintu masuk untuk memulai setiap aktivitas,” terang pria kelahiran Surakarta, 6 Juli 1961 ini.
Bentuk resiliensi dan kecerdasan lokal tampak pula saat terjadi gempa di Yogyakarta. Masyarakat membangun tempat berteduh sementara dari sisa-sisa bangunan yang disusun menjadi “rumah-rumahan” di sekitar reruntuhan rumahnya. Mereka yang terkena bencana tidak mau tinggal di tenda komunal meskipun secara fisik lebih baik. “Alasannya praktis karena kedekatan dengan harta benda mereka yang masih berada di bawah rumah yang roboh. Meskipun secara praktik internasional hal ini dianggap bukan sebagai best practise, namun pada kenyataannya justru memberikan solusi yang baik karena ikatan sosial antartetangga tetap utuh sehingga meringankan trauma yang dialami para korban pascabencana serta mempercepat pemulihan dan pembangunan kembali melalui gotong-royong,” jelas dosen Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM ini.
Dikatakannya bahwa untuk mengatasi ancaman bencana alam dan ekologis diperlukan pergeseran orientasi dan paradigma pembangunan berkelanjutan dengan mengarusutamakan pengurangan risiko bencana. Karena teknik sipil merupakan disiplin ilmu yang paling bertanggung jawab dalam pengembangan infrastruktur, tanggung jawab dan perannya sangat penting dalam melaksanakan perubahan paradigma. Ilmu teknik sipil harus terus melayani hidup dan kehidupan manusia untuk dapat menghuni planet bumi dengan lebih baik, lebih aman, dan lebih nyaman sehingga kehidupan manusia diharapkan semakin sejahtera dan bahagia secara berkelanjutan.
Pembangunan infrastruktur atau lingkungan terbangun (built environment) tak boleh lagi hanya berorientasi pada tujuan fungsional yang sempit dan berjangka pendek. Namun, harus berdasar pada perencanaan yang lebih holistik dengan memperhatikan keselarasan antara lingkungan terbangun dengan lingkungan alami, menjaga harmoni antara humanosphere, biosphere, dan ecosphere. Agar dapat melakukan hal tersebut, pendekatan aktif-preventif harus lebih diutamakan daripada pasif-responsif. “Karenanya dalam pembangunan infrastruktur konsep keselarasan dengan lingkungan dan pengurangan risiko bencana harus menjadi tujuan,” pungkas suami Ir. Hj. Sri Puji Saraswati, M.Sc., D.I.C., dan ayah tiga anak, Catia Anglie Currie, S.T., Rizki Fazlur Rachman, dan Ghifari Abdus Salam, ini. (Humas UGM/ Agung)