YOGYAKARTA – Daerah kabupaten yang rawan bencana gempa bumi memiliki prosentase penduduk miskin yang cukup besar dibanding persentase rata-rata propinsinya. Seperti di kabupaten Seimeuleu (26,45%), Aceh Barat (29,96%) dan Kota Sabang (25,72%). Lalu, Nias (25,19%), Nias Selatan (24,36%) dan Sibolga (17,67%). Berikutnya kepulauan Mentawai (22,86%), Padang Pariaman (14,15%), Bengkulu selatan (27,53%), Lampung Barat (21,74%) dan Lampung Selatan (24,72%). Tingkat kemiskinan di atas rata-rata propinsinya juga terjadi di bagian selatan pulau Jawa, meliputi Tasikmalaya (26,08%), Cilacap (21, 40%), dan Pacitan (21,17%).
Untuk mengatasi persoalan prosentase kemiskinan di daerah yang rawan bencana ini menurut Emil Salim adalah dengan menerapkan ilmu tekno-sains dan ekonomi. Berdasarkan tantanga pembangunan yang dihadapi sekarang, maka pendekatan dan pola pikir ilmu ekonomi saja tidaklah cukup. Tapi, menerapkan pola pembangunan berkelanjutan dengan membangun jejaring antara pelaku ekonomi, pelaku sosial dan pelaku lingkungan. Interaksi dan interkoneksi antar ketiga pelaku ini memungkinkan tumbuhnya pola pembangunan yang pro growth, pro job, pro poor dan pro environmen. “Sesungguhnya ini sangat penting untuk membangun tatanan ekonomi, sosial dan lingkungan yang tangguh menghadapi perubahan dinamis,” katanya.
Sementara Dekan Fakultas Teknik Dr. Tumiran mengungkapkan, dalam menanggapi situasi bencana dalam lima tahun terakhir, Fakultas Teknik (FT) UGM berperan aktif dalam mensikapi berbagai kejadian bencana geologi seperti gempa di sumatera barat, banjir bandang di Wasior dan bencana erupsi merapi. “Kejadian-kejadian bencana geologi ini, sivitas akademika fakultas teknik telah mengambil peran strategisnya sesuai dengan kompetensi dan kepakaran yang dimilikinya,” kata Tumiran dalam laporan tahunan fakultas teknik 2010.
Selama erupsi Merapi, FT UGM telah membantu melakukan survei lapangan dan kajian cepat (rapid assessment). Hasil kajian ini menjadi bahan masukan bagi tim pengambil keputusan darurat pada level manajemen di BNPB, BPTTK, Pemda DIY, Dinas PU-ESDM, Balai Besar wilayah Opak Serayu Progo, Pemkot Yogyakarta, pemda Magelang serta kelompok LSM. Selain itu, FT UGM didukung para mahasiswa juga melakukan edukasi ancaman bencana lahar merapi dan penanganannya pada kelompok-kelompok masyarakat di bantaran sungai serta mengembangkan Early Warning System (EWS) ancaman lahar melalui ‘SMS blasting’.
Tumiran menambahkan, FT UGM bersama dengan Forum Pemerhati Code dan Internasional Organization for Migration (IOM) juga sudah meluncurkan peta 1.000 ide untuk Code. Kegiatan ini untuk untuk mengetahui kondisi terkini Code pasca erupsi merapi. Peta ini selanjutnya akan digunakan sebagai landasan dalam penyusunan rencana aksi dan mitigasi berbasis komunitas. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
sumber: ugm.ac.id