Belakangan ini berita tentang adanya kontaminasi Cs-137 di area Perumahan BATAN Indah di Serpong, Tangerang Selatan, Banten, mengemuka di masyarakat. Badan Pengawas Teknologi Nuklir (BAPETEN) mengeluarkan pernyataan tertulis No 01/PR/HM 02/BHKK/II/2020 tertanggal Selasa (14/2) lalu terkait dengan temuan paparan tinggi di lokasi tersebut. Pernyataan tersebut telah tersebar ke masyarakat dan berbuah pemberitaan di berbagai media massa dan melahirkan berbagai interpretasi.
Melihat kondisi itulah maka UGM terdorong untuk memberikan tanggapan ilmiah terkait pemanfaat teknologi nuklir di Indonesia. Sebuah tim yang terdiri dari pakar dan dosen dari Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika UGM hari ini menyampaikan paparan ilmiah tersebut. Tim dipimpin oleh Ketua Prodi S1 Teknik Nuklir UGM, Dr. Ir. Andang Widi Harto.
Andang mengatakan Indonesia berkomitmen dalam pemanfaatan teknologi nuklir untuk tujuan damai dan kesejahteraan sejak pendirian Lembaga Tenaga Atom (LTA) pada tahun 1958 dan ikut membidani berdirinya IAEA (International Atomic Energy Agency). Pemanfaatan teknologi nuklir di Indonesia terikat dengan 3 prinsip internasional yang tidak bisa ditinggalkan. Pertama, kemanfaatannya harus lebih besar dari bahayanya. Kedua, pengelolaan teknologi nuklir harus berlangsung secara transparan. Ketiga, semua pengelolaannya berasaskan tanggung jawab.
“Nuklir di Indonesia digunakan untuk kesejahteraan masyarakat (sektor energi dan non energi). Hal yang paling umum adalah untuk pembangkitan listrik. Sedangkan radiasi nuklir telah dimanfaatkan untuk berbagai bidang, seperti medis, industri, pertanian, pertambangan, hidrologi, keamanan, dan pengembangan ilmu pengetahuan,” paparnya, Kamis (20/2).
Ia menjelaskan teknologi nuklir yang berhubungan dengan Cs-137 dan bersifat radioaktif selama ini dimanfaatkan untuk bidang kesehatan dan industri. Manfaat ini diperoleh melalui radiasi sinar gamma yang dipancarkannya. Radioisotop Cs-137 adalah produk buatan yang terbentuk melalui reaksi nuklir di dalam reaktor menggunakan bahan uranium.
Andang menekankan bahwa reaksi nuklir dalam reaktor ini dikendalikan dengan sangat ketat dan dikungkung secara berlapis-lapis sehingga bahan radioaktif yang terbentuk di dalam reaktor hampir tidak mungkin lolos ke luar dari pengungkung reaktor. “Hanya peristiwa yang sangat luar biasa yang mampu menggagalkan pengungkungannya,” ungkapnya.
Terkait dengan peristiwa di Serpong, menurut Andang, lepasnya Cs-137 ke lingkungan hanya dapat terjadi jika bahan itu terlepas dari wadah penutupnya. Secara teoretis, ia menjelaskan hal ini dapat terjadi karena faktor ketidaksengajaan (bencana alam, kegagalan teknologi, dan human error), serta faktor kesengajaan (sabotase atau pencurian).
Andang menerangkan bahwa lolosnya zat radioaktif ke lingkungan akibat faktor ketidaksengajaan dikategorikan sebagai masalah keselamatan (safety). Hal ini dapat diantisipasi dengan menerapkan sistem keselamatan, seperti pengungkung berlapis, penahan radiasi, sistem interlock, serta standar pelaksanaan operasi.
Sementara itu, lolosnya zat radioaktif akibat faktor kesengajaan dikategorikan sebagai masalah keamanan (security). Faktor ini bisa diantisipasi dengan menerapkan sistem keamanan nuklir yang mencakup pendeteksian dini ancaman dan pelaku, penghalangan dan perlambatan aksi pelaku, penghalauan dan pelumpuhan pelaku.
Oleh karena itu, Andang menyebut peristiwa di Serpong ini tergolong sebagai sesuatu yang tidak seharusnya terjadi jika meruntut pada aturan yang berlaku. “Perlu dilakukan pelacakan yang melibatkan BAPETEN sebagai pengawas, Kepolisian, serta BATAN untuk permasalahan ini,” ujarnya.
Sementara itu, mengenai bahaya kontaminasi akibat zat radioaktif ini, Ir. Haryono Budi Santoso, M.Sc., salah seorang anggota tim pakar, mengatakan agar masyarakat tidak perlu khawatir. Ia menekankan zat radioaktif yang lepas hanya melebihi batas administratif yang diterapkan di Indonesia sebesar 1 millisievert per tahun. Sementara, batas biologis kontaminasi yang mulai menyebabkan perubahan biologis manusia dimulai dari 500 milisievert sekali terpapar.
“Jumlah tersebut bahkan lebih kecil dibanding batas adminstratif yang diterapkan bagi pekerja yang lebih kerap berinteraksi di bidang nuklir yakni sebesar 5 hingga 20 milisievert per tahun,” terangnya.
Senada dengan Haryono, Dr. Agus Budhie Wijatna, menyatakan radiasi Cs-137 dimanfaatkan pula untuk bidang kesehatan. “Untuk sekali rontgen, zat tersebut memancarkan 0,1 milisievert. Sementara untuk CT Scan bisa sampai 10 milisievert sekali pancar,” paparnya.
Agus menjelaskan bahwa paparan ini secara teoretis juga dipengaruhi jarak dan waktu sehingga semakin jauh dan semakin lama waktunya maka paparannya akan semakin kecil. “Jadi, masyarakat di sekitar lokasi juga tidak perlu khawatir karena lokasi sudah disterilkan saat ini. Mahasiswa kami juga melakukan praktikum dengan zat serupa dengan paparan 0,0289 milisievert per jamnya. Mereka melakukan itu selama 5 jam per praktikum dan dilakukan selama 14 kali per semesternya. Dosen yang mengajar pun saat ini masih sehat,” ujarnya.
Anggota tim pakar lainnya, Ir. Ester Wijayanti, M.T., menjelaskan pihak yang berwenang dan bertugas untuk membersihkan zat radioaktif di lapangan sudah bekerja sesuai prosedur dan standar yang baik. Menurutnya, mereka telah memperhatikan keselamatan baik masyarakat sekitar, pekerja, serta lingkungan sekitar lokasi.
“Warga juga dilarang mendekati area selama pembersihan berlangsung. Para petugas juga diberi pakaian serta peralatan aman agar radiasi tidak terjadi. Lingkungan dijaga dengan sebaik mungkin dengan dilakukan penebangan pohon serta pengerukan tanah agar sama sekali tidak ada bekas radiasi yang tersisa. Jadi, masyarakat tidak perlu khawatir. Kami berharap bahwa peristiwa ini tidak menyurutkan dukungan masyarakat terhadap penggunaan teknologi nuklir sebagai sumber energi alternatif di Indonesia,” pungkasnya.
Penulis: Hakam
Foto: Vino
Sumber: ugm.ac.id