Untuk mendukung program pemberdayaan UMKM yang ramah lingkungan, Kebun Pendidikan, Penelitian dan Pengembangan Penelitian (KP4 UGM) bekerjasama dengan Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (KPWN) dan SMEDC UGM menggelar workshop dan pameran tentang pewarna alam.
Workshop mengangkat tema Zat Pewarna Alami untuk Mendukung Program Pemberdayaan UMKM yang Ramah Lingkungan, diselenggarakan di University Club (UC) UGM, Rabu (11/7). Narasumber utama adalah Dosen Teknik Kimia UGM dan Direktur Gama Indigo, Dr. Ir. Edia Rahayuningsih, M.S. yang berhasil mengubah daun indigo menjadi serbuk. Berikut perbincangan dengan Edia.
Kapan mulai meneliti daun Indigo bisa menjadi serbuk?
Tahun 2001 saya lulus Doktor Teknik Kimia dari UGM. Awalnya interest penelitian saya untuk meraih gekar doktor itu adalah soal pencemaran lingkungan, pergelaran polutan di tanah. Sampai tahun 2003 masih interest di sana. Nah, Tahun 2004 hati saya sebagai ibu dari anak-anak yang saat itu masih kecil, mulai terusik kala melihat jajanan anak-anak di sekolah memakai pewarna sintetis. Sebagai orang kimia saya tahu itu sangat berbahaya bagi kesehatan. Kalau dilarang wong jajanan yang ada di masyarakat memang seperti itu. Saya pikir, siapa yang harus memperhatikan hal ini? Padahal masalah itu bukan masalah anak saya saja kan? Itu masalah masyarakat umum, apalagi yang menengah ke bawah, yang orientasinya pasti makanan murah dan berwarna. Pastilah itu jajanan memakai pewarna sintetis yang istilahnya itu perusak yang luar bisa. Dari situlah saya mulai memikirkan tentang zat warna.
Apa yang Anda lakukan kemudian?
Saya mulai mengkstraksi (pemungutan) soal zat warna. Pikiran saya semula adalah zat warna untuk makanan.
Kok larinya ke Indigofera?
Dalam satu acara reuni, saya bertemu dengan Bu Hani dari Batik Winotosastro. Beliau kan kakak tingkat saya di jurusan Teknik Kimia. Kami suka ngobrol. Dari sanalah beliau tahu saya interes di bidang zat warna. Beliau menceritakan tentang zat warna indigo yang sekarang ini amat potensial, dibutuhkan para pembatik, tetapi barangnya tidak ada. Orang Indonesia secara umum hanya memgeluh, padahal sudah tahu tahu potensial tapi tidak berbuat apa-apa.
Karena itu saya lalu menggali yang menjadi bidang saya. Yakni ingin mengubah daun indigo menjadi serbuk. Lalu saya menggandeng KP 4 sebagai penyedia bahan baku. Saya juga menggandeng pengrajin batik, untuk belajar dan melihat bagaimana cara mereka mewarnai kain, agar saya bisa meneliti, dan karya saya bisa mereka pergunakan. Sebagai dosen, saya memiliki banyak mahasiswa yang memiiki energi yang besar. Mereka saya arahkan untuk melakukan penelitian bila ada kasus, lalu melakukan pengkajian agar ilmunya cukup, kajian pengabdian masyarakatnya juga cukup.
Hasilnya?
Setelah melalui penelitian yang panjang, saya merasa membutuhkan yang bisa mengayak, memroduksi hasil penelitian saya.
Kenapa menggandeng pihak lain?
Karena saya tidak cukup memiliki modal, saya juga tidak memiliki ilmu mendirikan pabrik. Untuk memroduksi hasil penelitian saya, membutuhkan bahan baku yang banyak. Saya tidak bisa membuat daun menjadi serbuk kalau tidak ada daunnya. Karena itu saya lalu bicara ke Jurusan Teknik Kimia tentang keinginan saya itu. Akhirnya , dapat partner KPWN ini karena mereka juga ada MOU dengan UGM.
Bisa digambarkan seperti apa “perjalanan” penelitian Anda?
Penelitian panjang. Penelitian kan tidak selalu sukses. Awalnya saya menanam indigofera di Desa Karantengah (Imogiri, Bantul). Tapi saya gagal memberdayakan masyarakat di sana. Investasinya besar tenaga kerja banyak, tapi hasilnya tidak gagal.
Itu sebabnya lalu beralih ke Subang?
Begini, awalnya saya mau meng-create inti dan plasma sekaligus. Tapi kami awali dari plasmanya di Karangtengah itu. Nah, kalau plasmanya belum profesional, kan ggal. Nah, yang di Subang (Jabar) ini kami baru membangun intinya. Kami menanam indigo di tanah seluas 7 hektar. Bila sudah mantap, kami akan mengangkat masyarakat sebagai plasma.
Kapan mulai memproduksi serbuk indigo?
Tepat 1 Maret 2012 pabrik mancur pertama kali. Produksi awal sebanyak 7-10 kg serbuk per hari.
Jadi, sekarang perajin batik tidak kesulitan membutuhkan serbuk indigo?
Saya yakin saat pengrajin butuh, saya punya. Barangnya bisa dibeli lewat email dan telepon. Ongkos kirim ditanggung pembeli.
Mahalkah?
Harga Rp 800 ribu per kilo serbuk, bisa untuk sekitar 30 kain . Jangan dibayangkan mahal, ya. Untuk 30 gram (Rp25 ribu) bisa dipergunakan untuk untuk 2 meter kain (1 lembar kain) . Bekas cairannya masih bisa dipakai dan tinggal ditambahkan serbuknya saja.
Apa keunggulan produk Anda?
Nama produk ini Gama Indigo, ya. Keunggulannya, 100 persen terbuat dari bahan alami tidak karsinogen. tidak meimacu kanker katrena ramah lingkungan. Mudah digunakan, tahan lama, warna yg dihasilkan tidak pudar. Hasil kerjanya secara ekonomis, harga kain batik bisa dua kali lipat dibanding bila pengrajin menggunakan pewarna sintetis.
Bagaiman cara pemakaiannya?
Harus ditambah redoktor. Setiap perajin batik sudah mengenal apa itu redoktor. Tetapi bila butuh dari kami juga ada.
Berapa masa kedaluwarsanya serbuk Gama Indigo?
Belum tahu kapan. Kalau menurut ilmu teknik kimia, saya bisa bilang ini awet. Yg penting jangan sampai kena sinar matahari langsung sehingga tidak mengalami fotolisis.
Bisakah ibu-ibu di rumah menanam Indigo di pekarangan lalu menggunakannya langsung sebagai pewarna kain batik?
Daun Indigo tidak bisa langsung dimanfaatkan untuk ,menjadikan kain berwarna biru. Membuat serbuk indigo membutuhkan ilmu teknik kimia yang cukup tingggi karena reaksinya enzimatik, butuh kondisi. Sehingga bila dia menanam, lalu membuat serbuk indigo sendiri, belum tentu jadi atau kualitasnya rendah. Bayangkan, kalau untuk nyelup batik, kainnya saja mahal, bikin batiknya sulit, hasilnya jelek. Ruginya multiplikasi. Sudahlah membeli saja. Kan per kain cuma butuh 3 gram. Bukan berarti saya mau menguasai. Hanya mengarahkan agar tepat.
Gama Indigo Sudah dipatenkan?
Belum.
Rini Sulistyati
sumber: tabloidnova.com