Hasil penelitian Tim Studi Longsor, Jurusan Geologi UGM, menyebutkan bencana longsor batu yang dipicu oleh gempa bumi di Cianjur pada 2 September lalu merupakan bagian dari longsoran purba yang pernah terjadi sekitar 4 juta tahun yang lalu. Hal ini dicirikan dengan adanya bentuk morfologi berupa tebing perbukitan yang tegak dengan pelamparan lengkung seperti tapal kuda memanjang sepanjang kurang lebih 20 kilometer.
Dari hasil penyelidikan lapangan, kata Ketua Jurusan Geologi Fakultas Teknik UGM ini, tercatat bahwa luncuran batuan dapat mencapai 550 m dari kaki tebing. “Maka perlu disarankan agar zona sempadan lereng yang harus dibebaskan dari hunian adalah dalam radius minimal 550 m dari kaki tebing,” katanya.
Ditambahkannya bahwa endapan hasil runtuhan batuan yang terjadi akibat gempa 2 September lalu masih relatif rapuh. Oleh karena itu, endapan batuan tersebut masih mungkin untuk bergerak atau runtuh lagi, terutama apabila terjadi guncangan gempa, hujan atau penggalian yang tidak terkontrol. “Disarankan agar endapan runtuhan batuan tersebut tidak menjadi arena yang bebas dikunjungi masyarakat,” pesannya.
Ditambahkan Dwikorita, diperlukan suatu perhitungan dan kewaspadaan khusus apabila endapan runtuhan batuan tersebut akan digali lagi untuk mencari korban yang belum ditemukan. Dengan demikian, bencana susulan karena tertimbunnya alat atau petugas penggali dapat dihindari.
Dari hasil penelitian Tim Geologi yang beranggotakan Ir. Ignatius Sudarno, M.T., Dr. Hary Christady, Bagus Kamrullah, dan Hermawan Sunaryo, diketahui bahwa sepanjang tebing batuan yang melampar melewati Desa Cijambu, Cisitu, Pasirbayur, Sukaresik, Cikangkareng, Joglo, Tipar, Babakan sampai dengan Cibarengkok, Cikuray, dan Rancabebek merupakan tebing batuan yang rapuh dan rentan runtuh karena kehadiran kekar-kekar batuan yang cukup rapat pada tebing yang tegak. “Runtuhan batuan nampaknya pernah terjadi beberapa kali pada tebing batuan tersebut. Hal ini dibuktikan dengan dijumpainya endapan talus (endapan runtuhan batu) yang terakumulasi di kaki tebing,” jelasnya.
Dwikorita memperkirakan runtuhan batuan masih dapat terjadi di beberapa tempat pada tebing tersebut. Oleh karena itu, perlu diperhitungkan dan dipetakan zona yang berisiko terkena luncuran batuan sehingga dapat ditetapkan zona sempadan lereng untuk menghindari perkembangan permukiman dalam zona risiko tersebut.
Sementara kondisi runtuhan batuan merupakan blok-blok berbentuk relatif kubik meruncing dengan didominasi oleh diameter blok mencapai 2m – 4m. Bentuk kubik ini khas yang menunjukkan indikasi potongan batuan melalui bidang-bidang kekar. Karena kecuraman dan ketinggian tebing (mencapai 170 m), serta cukup rapatnya bidang-bidang kekar yang terbentuk pada tebing, volume massa runtuhan batuan relatif besar, yakni 50.000 meter kubik dengan jarak luncur mencapai 550 m dari kaki tebing. Risiko luncuran ataupun runtuhan batuan dalam volume besar inilah yang mengancam keselamatan jiwa warga masyarakat.
Menurutnya, lokasi lain di wilayah Jawa yang menunjukkan kemiripan ciri morfologi berupa tebing tegak dan terpotong-potong oleh bidang kekar batuan juga perlu diwaspadai. Kondisi itu berpotensi pula untuk mengalami runtuhan batuan apabila diguncang oleh gempa bumi, misalnya wilayah Pegunungan Selatan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Klaten juga pernah mengalami lebih dari 150 titik longsor batu akibat dipicu gempa Yogyakarta di tahun 2006. (Humas UGM/Gusti Grehenson).