Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki tingkat kerawanan dan kerentanan terhadap bencana sangat tinggi. Hal tersebut dapat dibuktikan dari berbagai kejadian bencana seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, letusan gunung api puting beliung, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, yang memakan korban jiwa dan menimbulkan banyak kerugian. Sementara itu masyarakat Indonesia memiliki tingkat kesadaran, kesiapsiagaan maupun mitigasi bencana yang masih rendah. Hal ini menyebabkan Indonesia memiliki risiko kebencanaan yang sangat tinggi. Ancaman bencana ini harus diantisipasi dengan upaya nyata dan kerja keras guna meminimalkan dampak negatif dari kejadian bencana tersebut dan sekaligus menanggulangi akibat bencana lanjutan yang ditimbulkan.
Usaha-usaha pemerintah dalam mengurangi risiko bencana telah banyak dilakukan agar pembangunan nasional dan aktivitas masyarakat dapat berjalan dengan lancar. Salah satu upaya pengurangan risiko bencana adalah dengan merelokasi warga yang tinggal di daerah rentan, penerapan mitigasi struktural, maupun mitigasi non struktural. Mitigasi nonstruktural dilakukan dengan cara peningkatan kapasitas masyarakat, seperti sosialisasi, pelatihan mitigasi bencana, dan pembentukan tim-tim siaga bencana di masyarakat. BNPB telah melakukan upaya sinergis dan kolaboratif agar kebutuhan mitigasi nonstruktural dapat terwujud di masyarakat.
Kepala BNPB, Letjen TNI Doni Monardo dalam berbagai kesempatan mengangkat konsep penta helix dimana masing-masing helix mempunyai peran-peran tersendiri dalam penanggulangan bencana. Kelima helix tersebut dan peran yang dimiliki adalah Pemerintah sebagai regulator, Akademis/Pakar sebagai pembentuk konsep dan inovasi, Dunia usaha sebagai pendorong dan penyokong, Media massa sebagai penguat/amplifier dan Masyarakat sebagai akselerator. Deputi Bidang Pencegahan BNPB, Ir. Lilik Kurniawan, M.Si. menjelaskan melalui peran pelibatan 5 pihak atau penta helix tersebut sekaligus menjadikan masing-masing helix sebagai katalisator atau pembawa perubahan dan percepatan dalam mencapai visi penanggulangan bencana.
Universitas Gadjah Mada (UGM) merupakan salah satu bagian dari penta helix tersebut. Salah satu inovasi dari UGM yang telah dihilirisasi adalah pengembangan sistem peringatan dini bencana sejak 2008, hingga sekarang telah terpasang di 32 propinsi di Indonesia dan di luar negeri serta telah diangkat menjadi rujukan nasional melalui SNI dan rujukan dunia melalui ISO.
Pada tanggal 7 September 2020, BNPB dan Fakultas Teknik UGM kembali menjalin kerjasama dan dengan penandatanganan yang dilakukan secara daring. Pada tahun 2020 ini, akan dilaksanakan pemasangan sistem peringatan dini longsor dan banjir di 2 propinsi yaitu Jawa Tengah dan Bangka Belitung. Dalam sambutannya, Direktur Peringatan Dini BNPB, Ir. Afrial Rosya, MA., M.Si. mengatakan bahwa tujuan utama dari pemasangan sistem peringatan dini adalah untuk membangun kesadaran dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Sistem ini dipasang di lokasi-lokasi yang rentan bencana sekaligus dilakukan peningkatan kapasitas masyarakatnya untuk menghindari timbulnya korban jiwa, serta kerusakan harta dan benda saat terjadi bencana. BNPB juga akan mengevaluasi pemasangan sistem ini sebelumnya di seluruh wilayah Indonesia, untuk menjamin keberfungsian sistem peringatan yang telah dipasang sejak tahun 2007. Acara juga dihadiri para Kasubdit di Direktorat Peringatan Dini BNPB yaitu Linda Lestari, S.Kom., M.Si. (Han) sebagai penanggung jawab kegiatan dan dr. Rucky Nurul Wursanty Dewi, M.K.M sebagai PPK.
Dekan Fakultas Teknik UGM, Dr. Waziz Wildan menyambut baik keberlanjutan kerjasama antara UGM dan BNPB sekaligus untuk terus mendorong inovasi-inovasi baru dari UGM di bidang kebencanaan. Selain sistem peringatan dini longsor dan banjir, UGM juga telah mengembangkan sistem peringatan dini banjir bandang, aliran lahar dan tsunami. Evaluasi kegiatan pemasangan sebelumnya sangat penting dan UGM berkomitmen untuk terus mengawal operasional sistem ini dan terus mengembangkan inovasi-inovasi baru untuk menjawab tantangan ke depan. Turut hadir dalam acara penandatanganan kerjasama ini Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat dan Kerjasama FT UGM Dr. Sugeng Sapto Surjono, Kepala Unit Pengembangan Usaha, Kerjasama dan Alumni FT UGM Dr. Jarot Setyowiyoto dan juga inovator sekaligus konseptor SNI dan ISO Sistem Peringatan Dini, Prof. Teuku Faisal Fathani dan Dr. Wahyu Wilopo.
Sepanjang tahun 2008-2019, Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Badan Nasional Penggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) telah melaksanakan penerapan sistem peringatan dini bencana longsor dan banjir di lebih dari 100 kab/kota di 32 propinsi di Indonesia. Sistem peringatan dini banjir/longsor yang diterapkan terdiri atas tujuh sub-sistem utama sebagai berikut, sesuai SNI 8235:2017, SNI 8840:2019, ISO 22327:2018, ISO 22328-1:2020 yaitu: (1) penilaian risiko; (2) sosialiasi; (3) pembentukan tim siaga bencana; (4) pembuatan panduan operasional evakuasi; (5) penyusunan prosedur tetap; (6) pemantauan, peringatan dini dan geladi evakuasi; (7) membangun komitmen otoritas lokal dan masyarakat dalam pengoperasian dan pemeliharaan keseluruhan sistem. Dengan demikian penerapan sistem ini merupakan pendukung terbentuknya Desa Tangguh Bencana (DESTANA) yang merupakan cikal bakal terwujudnya ketangguhan bangsa.
Dalam sambutan penutup, Dekan Fakultas Teknik UGM juga menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan atas dukungan dan kepercayaan BNPB terhadap aplikasi produk-produk riset antar disiplin di bidang kebencanaan yang telah dibangun Fakultas Teknik UGM. Saat ini BNPB bekerjasama dengan UGM dan BSN telah berhasil menyusun SNI 8235:2017, SNI 8840:2019, ISO 22327:2018 dan ISO 22328-1:2020 tentang sistem peringatan multi bencana. Selanjutnya BNPB-BMKG-UGM-BSN sedang menyusun SNI dan ISO tentang sistem peringatan dini tsunami, yang berikutnya diikuti dengan sistem peringatan dini banjir dan letusan gunung api. (Humas FT: Purwoko/Sumber: Rilis Prof. Faisal Fathani)