Kebijakan energi nasional memiliki mata rantai panjang sekaligus berefek domino bagi sektor lainnya. Pertumbuhan ekonomi bakal mati suri tanpa pasokan energi, kepercayaan masyarakat pada pemerintah bisa turun naik seiring tingkat ketersediaan daya.
Bagaimana kebijakan energi kita secara umum?
Produk perundang-undangan energi telah banyak dihasilkan tapi dari implementasi pelaksanaan yang kita rasakan malah terjadinya krisis dan darurat energi. Cirinya, dulu kita eksportir minyak, kini importir dan cadangan energi kita juga menipis. Lifting migas makin menurun. Pemerintah juga kurang mencadangkan pendapatan negara dari migas untuk mencari sumber-sumber baru. Kemudian, penggunaan energi kita terlalu berorientasi untuk devisa, artinya pendapatan migas tidak dilakukan untuk meningkatkan added value. Padahal, negara maju
menggunakan energi primer berupa migas tadi untuk menciptakan nilai tambah pada produk industri.
Pemerintah berambisi mengembangkan energi baru dan terbarukan…
Pelaksanaan pengembangan energi baru dan terbarukan baru pada jargon, terkesan bombastic. Sebaiknya pengembangannya terintegrasi dari riset, pelaksanaan dan fabrikasi. Juga ditetapkan departemen teknis mana yang menjadi pelaksana agar parameternya jelas.
Insentif bisa mendorong energi baru dan terbarukan?
Kita optimis pertumbuhan ekonomi akan membaik. Dua tiga tahun lagi pendapatan per kapita bisa naik, berarti daya beli termasuk daya beli energi menguat. Sekarang, tenaga surya atau panas bumi bisa dibilang mahal tapi besok akan terasa murah karena pendapatan per kapita naik. Pemerintah harus meyakini insentif pengembangan energi mampu mendorong ekonomi.
Bagaimana akselerasi pemanfaatan panas bumi?
Investasi panas bumi memang mahal tapi dengan pemberian insentif akan menumbuhkan ekonomi dan menaikkan pendapatan masyarakat tadi. Selama ini, kita terus berdebat soal tarif pembelian, masalah negosiasi dengan pemda dan lain-lain. Padahal, seharusnya, panas bumi di akselerasi. Jadi, sudahlah, anggap saja pembangkit panas bumi sebagai infrastruktur untuk mensuplai tenaga listrik.
Maksudnya?
Sekarang harganya telah dipatok US $ 9,7 sen per kWH. Di luar itu, jika ada komponen pajak lebih baik dibebaskan saja, atau diberikan semacam tax holiday, untuk mengakselerasi pembangunan infrastrukur tenaga listrik.
Bagaimana dengan nuklir?
Secara pribadi, saya setuju Indonesia harus memiliki nuklir. Akselerasi energi terbarukan tidak mampu mengejar penggantian energi fosil. Nuklir yang paling cepat. Seharusnya kita jelaskan manfaat nuklir pada publik. Indonesia memang memiliki cadangan gas dan batubara tapi kita perlu juga devisa. Negara-negara yang sebelumnya menggantungkan pada energi primer juga bakal mengalihkan 50 persen kebutuhan energinya dengan nuklir. Dengan nuklir pula kita bisa memperpanjang penggunaan cadangan energi fosil daripada dieksploitasi habishabisan.
Bagaimana pengelolaan ketenagalistrikan?
Ada kekeliruan kepengelolaan bisnis ketengalistrikan. Jika memang mengarahkan PLN sebagai perusahaan yang tangguh seharusnya dari dulu ada struktur margin yang memungkinkan PLN untuk tumbuh dengan menyisihkan dana untuk investasi.
Apakah kebijakan berpengaruh pada kelangkaan?
Soal kelangkaan listrik juga karena kebijakan kita tidak tepat. Nah, kebijakan yang tidak tepat juga karena estimasi yang kurang tepat pula. Maksudnya, biaya pokok produksi (BPP) kita tinggi. Jika ada yang mengatakan listrik murah itupun sebenarnya karena disubsidi. Murah atau mahal harus dilihat dari biaya produksi. Sekarang BPP Rp 1200 per kWH, ini karena PLN harus membakar solar untuk pembangkit. Sedangkan Malaysia Rp 800 dan Thailand Rp 700 per kWH. Berarti mereka bisa mengelola energi lebih efisien daripada Indonesia.
Bukankah listrik termasuk komponen biaya?
Saya pernah melakukan survei ke industri, tetapi ternyata mereka tidak bisa terbuka, berapa sebenarnya porsi listrik dalam biaya produksi. Asumsinya jika porsi listrik dalam biaya produksi adalah 10 persen dan tarif listrik naik 10 persen maka sejatinya porsi listrik terhadap biaya produksi setelah kenaikan hanya 11 persen. Angka itu tidak seberapa.
Bagaimana kinerja PLN?
PLN terbebani masalah sumber energi untuk pembangkit berupa pasokan batubara, solar dan gas. Di sini, kembali pada kebijakan energi dan pemerintah harus tegas menjamin pasokan. Tidak tepat juga jika selalu menyalahkan PLN. Yang jelas penanganan masalah listrik di Indonesia tidak bisa selesai semua dalam 3-5 tahun ke depan.
PLN dinilai tidak efisien, menurut Bapak?
Inefisiensi bisa terjadi akibat pengelolaan atau karena kebijakan. Saya lihat, inefisiensi PLN karena kebijakan. Terlihat dari pembangkit PLN menggunakan solar yang mahal. Kita tahu, gas bisa lebih murah tapi pasokan gas masih terkendala perdebatan kepentingan ekspor dan domestik.
Bagaimana sebaiknya formulasi tarif dasar listrik (TDL)?
Sebelum menaikkan TDL, biaya pokok produksi harus dihitung dahulu. PLN harus terbuka dan kita hitung bersama. Tidak bisa pemerintah langsung menetapkan tarif naik. BPP juga harus dilihat apakah telah menggunakan komposisi energi mix yang efisien dan output pembangkit yang optimal. Jangan sampai inefisiensi lantas dibebankan pada konsumen dengan menaikkan TDL.
Bagaimana kebijakan listrik jangka pendek, menengah dan panjang?
Kita harus menentukan proyeksi kebutuhan energi kita dengan melihat resources kita, pertumbuhan ekonomi dan industri, serta kondisi geografis negara kita. Setelah itu, baru bisa dilakukan langkah stategis kebijakan jangka pendek, menengah dan panjang. Situasi krisis listrik sekarang karena kesalahan kebijakan energi di masa lalu sehingga tidak tepat dan tidak antisipatif.
Akibatnya?
Kita mendadak kekurangan pembangkit dan lantas melakukan program akselerasi tapi kita tidak melakukan assessment teknologi yang tepat, pembangkit yang pas dan realiability handal. Lantas, langsung mencari yang paling murah. Dalam ketenagalistrikan, murah tidak berarti andal. Investasi awal memang lebih mahal tapi jika reliability-nya handal maka operasional lebih murah
Tentang proyek pembangkit 10.000 MW?
Saya belum bisa mengevaluasi karena pembangkit-pembangkitnya belum terbukti proven. Itu soal waktu saja. Tapi kecurigaan itu sudah muncul karena beberapa pembangkit yang sebenarnya telah siap tapi belum menunjukkan high reliability seperti yang kita indikasikan. High reliability berdampak pada low cost di tingkat konsumen. Jika keandalannya rendah maka konsumen membayar lebih mahal. Misalnya, listrik di pabrik baja atau tekstil tiba-tiba padam, berapa biaya yang ditanggung oleh konsumen industri tadi.
Solusinya?
Ke depan, seharusnya ada regulasi yang menghubungkan price dan reliability. Peluang ini harus dibuka sehingga PLN terdorong menjaga reliability berkualitas tinggi sehingga konsumen terjamin. High reliability juga mendorong PLN untuk lebih efisein.
Soal audit teknologi PLN?
Lebih tepat audit equipment. Sehingga PLN percaya diri karena mendapat justifikasi bahwa sebuah peralatan masih bekerja dengan baik atau memang sudah waktunya diganti. Misalnya peralatan yang berusia lebih dari 40 tahun, pasti keandalan dan kapasitasnya menurun (derating). Jika derating, tingkat efisien pasti turun. Sekali lagi, bukan audit teknologi karena teknologi merupakan soal pilihan yang telah dilakukan sebelumnya. Tapi untuk ke depan, sebaiknya memang dilakukan pemilihan teknologi.
Sumber : Majalah Energi – February 2010