Pernyataan Direktur Utama PT PLN (persero), Dahlan Iskan, seusai rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR, Kamis, 26 Agustus 2010, tentang rencana BUMN penyedia listrik itu untuk mengimpor batu bara sebanyak 9 juta ton pada 2011 agar listrik tetap menyala menguatkan pendapat pakar energi dari UGM, Dr. Tumiran, beberapa waktu lalu tentang urgensi bagi pemerintah untuk mengaudit penggunaan energi terhadap PLN guna menekan biaya produksi dan penaikan tarif dasar listrik. Beliau menduga karena selama ini tidak ada informasi mengenai penggunaan energi oleh PLN, bisa jadi penggunaan energi oleh PLN belum efisien. Artinya, jumlah energi yang masuk dengan keluaran yang dapat dihasilkan PLN belum sebanding. Kalau audit energi itu dilakukan, barangkali PLN dapat menekan biaya produksi sehingga subsidi pemerintah yang selama ini menguras anggaran sampai Rp56 triliun per tahun dapat dikurangi.
Anggaran subsidi dapat dihemat jika PLN melakukan efisiensi, terutama dalam hal penggunaan energi. Pada akhirnya, penaikan tarif listrik bisa ditekan sehingga tak harus membebani masyarakat terlalu tinggi.
Tumiran juga menyarankan PLN untuk mengonversi energi dengan menggalakkan penggunaan batu bara dan gas. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meyakini potensi cadangan gas Indonesia masih bisa bertahan 59 tahun lagi mencapai 170 Tscf (tera standard cubic feet), sedangkan batu bara mempunyai cadangan sebesar 5 x 109 tce (ton coal equivalent).
Di antara dua sumber energi itu, batu bara memang merupakan yang terekonomis karena biaya investasinya per 1 kwh sekitar Rp. 500 atau Rp. 600. Gas membutuhkan investasi sekitar Rp900 per kwh. Adapun jika ditinjau dari rasio cadangan (reserve to production ratio-R/P), batu bara mempunyai R/P tertinggi, yaitu sekitar 50 tahun, disusul gas dan minyak bumi yang masing-masing mempunyai R/P sekitar 30 tahun dan 10 tahun.
Sayangnya, seperti diungkap dalam awal tulisan ini, PLN bakal kesulitan mendapatkan pasokan batu bara sesuai dengan kebutuhan pembangkit yang mencapai sekitar 40 juta ton per tahun. Pada masa mendatang, pasokan itu diprediksikan kian sulit karena spesifikasi batu bara yang dibutuhkan adalah batu bara yang berkalori tinggi. Batu bara jenis itu, selain pasokannya terbatas, pun terbilang mahal sehingga menggantungkan pembangkit pada batu bara impor hanya akan membuat keuangan PLN kian tertekan. Maka, mau tidak mau, PLN harus memprioritaskan pembangunan pembangkit yang menggunakan gas maupun sumber energi lainnya seperti mikrohidro, geotermal, maupun energi terbarukan lainnya.
Pilihan yang rasional adalah pembangkit berbahan bakar gas. Energi terbarukan seperti energi surya, meskipun ramah lingkungan, membutuhkan biaya untuk investasi cukup besar. Energi air dan energi panas bumi (geotermal), meskipun mempunyai potensi cukup besar, memerlukan pertimbangan matang untuk pengembangannya karena sumber energi ini berada jauh dari pengguna.
Pemerintah perlu didorong untuk memprioritaskan pembangunan pembangkit listrik tenaga gas karena dalam proyek percepatan pembangunan pembangkit listik 10.000 Mw tahap I maupun II komposisi pembangkit berbahan bakar gas sangat minim. Untuk sekitar 94 lokasi proyek 10.000 Mw tahap II, dari komposisi energi primer, hingga 2014 penggunaan gas hanya 16%. Komposisi terbesar malah panas bumi dengan 39%, disusul batu bara 33% dan air 12%.
Kaji ulang
Komposisi penggunaan energi primer tersebut patut dikaji ulang dengan memberikan porsi lebih besar bagi penggunaan gas mengingat batu bara dan panas bumi dalam jangka pendek tidak bisa dijadikan andalan. Khusus untuk panas bumi, meskipun diyakini sebagai energi yang ramah lingkungan, penggunaannya masih sangat terkendala karena cadangannya berada di daerah yang jauh dari konsumen dan daya beli sebagian konsumen panas bumi masih di bawah keekonomian pengembangan lapangan geotermal.
Pilihan penggunaan gas kian rasional karena selain masih tersedianya cadangan sebesar 170 Tscf, pasokan gas akan diperkuat dengan cadangan gas metana batu bara (CBM) yang berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencapai 453,3 triliun standar kaki kubik. Pemerintah telah menargetkan cadangan CBM di Indonesia akan menjadi energi yang bisa dipakai secara luas mulai 2011.
Apabila gas menjadi pilihan utama untuk pembangkit, pemerintah harus membereskan pekerjaan rumah utamanya, yakni memenuhi komitmen penyediaan gas bagi PLN. Sejauh ini, PLN kerap kesulitan mendapatkan pasokan gas. Pada tahun ini saja realisasi penggunaan gas hanya 20% di bawah rencana tahunan perusahaan (RKAP). PLN kekurangan gas sekitar 1 juta standar kaki kubik per hari (mmscfd).
Sejak 2000 sebenarnya PLN sudah menunggu gas untuk PLTGU Muara Tawar, PLTGU Tambaklorok, dan PLTGU Grati, tetapi sampai sekarang belum mendapatkan pasokan gasnya sehingga terpaksa sampai saat ini dioperasikan dengan BBM. Bila gasnya tersedia, tentu PLN akan memakainya secara maksimal, termasuk untuk pembangkit minyak (BBM) yang bisa dimodifikasi menjadi pakai gas. Akibat kekurangan pasokan gas, PLN menanggung kerugian sekitar Rp3 triliun per tahun karena beberapa pembangkitnya ‘salah makan’.
Jika saja komitmen gas ini terpenuhi, setidaknya dalam lima tahun ke depan akan ada efisiensi di tubuh PLN sekitar Rp15 trilun. Pemerintah juga bisa menekan kerugian akibat penjualan gas keluar negeri yang selama ini jorjoran dilakukan sekitar Rp33 triliun.
Guna mendorong penggunaan gas yang terjangkau bagi PLN, pemerintah patut merespons dua usulan PT Pertamina (persero) beberapa waktu lalu, yakni, pertama, pengurangan pendapatan pemerintah dari pemanfaatan gas. Usulan itu kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh pemerintah dengan menerbitkan kebijakan insentif gas domestik (IGD). Kedua, konsep relokasi subsidi dari BBM ke gas. Usulan-usulan tersebut belum direspons pemerintah.
Sayangnya, pemerintah sendiri masih terus menghitung harga yang pas untuk dalam negeri. Rencana pengalihan subsidi itu pun tampaknya tidak digubris karena pemerintah dalam penetapan harga jual gas tetap berpegang pada mekanisme pasar. Pemerintah tidak akan memberikan subsidi pada pelaku usaha, termasuk PLN, dalam mendapatkan harga gas.
Pekerjaan rumah lainnya adalah penyediaan infrastruktur. Problem pemipaan masih menjadi penghambat kegiatan penyaluran gas yang ada di Indonesia. Perlu disadari bahwa penyaluran gas hasil eksplorasi tidak bisa disalurkan melalui mobil tanki ataupun peralatan lainnya. Proses penyaluran gas selalu dengan menggunakan pipa. Padahal, sisem pemipaan di Indonesia sejauh ini sangat buruk dan tidak lengkap.
Oleh Eriko Sutarduga, Anggota Komisi VI DPR
Sumber: http://www.mediaindonesia.com