YOGYAKARTA- Disinyalir banyak dosen dan peneliti lebih senang melakukan penelitian mandiri di area developing technology. Padahal sebelum masuk area commercial technology masih diperlukan satu tahapan lagi yaitu emerging technology. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara perguruan tinggi (PT) dan industri. Disatu sisi dunia industri menganggap bahwa penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi masih berada didaerah hulu dan belum bisa diaplikasikan di industri..
“Sementara itu para peneliti di PT menganggap dunia industri tidak serius mengaplikasikan penelitian yang telah dengan susah paya dilakukan selama bertahun-tahun,” ujar Prof. Ir. Arief Budiman, MS, D.Eng, koordinator Process System Engineering (PSE) Research Group, Jurusan Teknik Kimia (JTK), FT UGM belum lama lalu saat soft launching eco mini plant di JTK UGM.
Diakui Arief telah terjadi adanya sebuah kesenjangan yang lebar antara dunia PT dan industri. Suatu topik penelitian dalam pengembangan teknologi sebaiknya dilakukan mulai dari riset dasar yang bersifat eksplorasi, terus dilanjutkan menuju ke riset terapan dalam skala laboratorium. Setelah berhasil pada tahap ini harus dilanjutkan ke tahap peningkatan kapasitas sehingga operasi dari pengembangan teknologi pada skala yang lebih besar dari skala laboratorium bisa dipelajari.
“ Jika ini dilakukan, dunia industri pasti akan melirik teknologi yang dikembangkan para peneliti dari PT”, imbuh Arief .
Berangkat dari kondisi tersebut, PSE research group akan membangun eco-mini plant: Green fuel dengan kapasitas 150 liter perhari. Mini plant ini ujar Arief dibangun dengan konsep eco-frienly building dan eco-friendly technology process. Bangunan yang ada memanfaatkan penataan sirkulasi udara sedemikian rupa sehingga tidak diperlukan pengkondisi udara (AC).
“ Disamping itu untuk keperluan lighting dan komputer digunakan panel surya, sehingga bangunan ini merupakan bangunan yang ramah lingkungan,” katanya.
Sementara itu disinggung bahan baku yang digunakan berupa minyak jarak yang merupakan minyak non pangan. Juga bisa digunakan jenis minyak non pangan yang lain yang mudah didapat di Indonesia, seperti minyak biji nyamplung, karet, randu dll. Minyak tersebut akan diolah menjadi biodiesel yang mempunyai banyak kelebihan, seperti menghasilkan emisi yang lebih baik dibanding minyak diesel/minyak solar. Selain itu, biodiesel mempunyai cetane number yang lebih tinggi dari pada minyak solar, dan bisa mencapai 62 sementara itu minyak solar hanya sekitar 50.
“ Sehingga pembakaran pada mesin lebih baik, tarikan lebih kencang, suara lebih halus, bau knalpot lebih wangi,” tambahnya.
Hasil samping dari proses pembuatan biodiesel ini berupa gliserol. Bahan ini semula dianggap limbah, akan tetapi sebenarnya lebih tepat kalau disebut hasil samping. Gliserol yang dihasilkan tambah Arief akan dibuat bioaditif yang berfungsi untuk menaikkan angka oktan pada premium. Diharapkan, jika premium ditambahkan dengan bioaditif akan mempunyai sifat yang setara dengan pertamax, yang akan menyempurnakan proses kimia dan sistem pembakarannya didalam mesin.
“ Dengan itu maka akan menaikkan performa mesin motor atau mobil,” ujar Arief.
Arief Budiman yang dilahirkan di Pati 28 Juni 1960 ini, menyelesaikan pendidikan doktornya di Tokyo Institute of Technology, Japan tahun 1997. Pada saat wisuda S3 di usia yang relatif tidak muda, bercita-cita agar sebelum usia 50 tahun bisa menjadi guru besar. Bersama Dr. Sutijan dan Dr. Rochmadi sepulang dari Tokyo membentuk Process System Engineering Research Group untuk mewujudkan cita-citanya.
Selama tiga belas tahun sudah ada 60an paper yang ditulis dan dipresentasikan di jurnal maupun seminar nasional/internasional. Beberapa hibah penelitian telah dia peroleh seperti the young academic program (DIKTI), RUT internasional, Riset andalan perguruan tinggi-industri (RAPID), Insentif ristek (KMNRT), Publikasi internasional, dan kerjasama luar negeri. Dari produktifitas ilmiah yang cukup tinggi tersebut, pada bulan April 2010 Menteri Pendidikan Nasional menerbitkan SK Guru Besar untuknya (Humas UGM/Satria)