Sejarah mencatat bahwa kampung merupakan bagian integral kota di Indonesia. Dalam proses perkembangan kota yang akan terus terjadi, kampung masih mendapat kesempatan untuk memberi wujud dan makna kehidupan perkotaan yang lebih baik dan khas Indonesia. Sementara selama ini banyak orang melihat masa depan kampung akan sangat tergantung pada masa depan kota. Pandangan semacam ini tentunya perlu diubah, karena masa depan kota di Indonesia justru akan sangat tergantung dari kampung-kampungnya. Bahkan perencanaan kota di Indonesia di masa depan haruslah melihat dan memperlakukan kampung sebagai bagian integral kota.
Kata Bobby (panggilan akrabnya—red), dokumen ini sangat penting, karena tidak saja menunjukkan pentingnya peran kampung dalam sistim kota namun juga menjamin bahwa kampung tidak dihilangkan dari sistim perencanaan serta pembangunan kota. Menurutnya dalam konteks pembangunan kota yang sangat dikontrol oleh pasar dan kapital, perencanaan harus berani memihak, mendampingi dan memproteksi kampung.
“Artinya itu telah membantu mereka yang miskin dan rentan untuk menjamin apa yang disebut ‘defensible life space’ atau ruang kehidupan yang dapat dipertahankan,” ujar Ketua Program Studi Magister Perencanaan Kota dan Daerah/ MPKD, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik UGM.
Dalam pandangan Bobby, defensible life space ini sangat berarti bagi mereka yang miskin dan rentan, karena merupakan satu dari delapan elemen kekuatan sosial yang memungkinkan mereka lepas dari jerat kemiskinan. Bahwa apa yang dilakukan Romo Mangunwijaya dengan mendampingi komunitas di bawah jembatan Gondo Layu Yogyakarta sebagai bentuk defensiable life space. “Hal itu terbukti telah membantu mengantarkan mereka yang miskin dan rentan untuk lepas dari jerat kemiskinannya,” tambah pria kelahiran Yogyakarta, 28 Juni 1959 ini.
Bagi suami Ir. Dwita Hadi Rahmi, MA, perencanaan kota bukanlah kegiatan teknokratik dan teknis semata yang bebas nilai dan kepentingan. Perencanaan kota merupakan proses yang sarat dengan benturan, konflik, negosiasi dan mungkin konsesi antar berbagai aktor dalam kota.
Dalam situasi seperti ini, perencanaan kota harus berani memilih pada pihak mana mereka akan bekerja. Bahwa sebagian besar warga kota berada pada posisi yang rentan, kalah, dan terpinggirkan. “Karenanya perencanaan harus mengedepankan proses-proses penguatan asosiasi warga. Penguatan asosiasi warga kota inilah yang diperlukan agar mereka siap dan mampu bermain untuk membela aspirasi dan kepentingan mereka, dan tidak terlindas kepentingan kapital dan penguasa kota,” ungkap ayah Tata Matahari. (Humas UGM/ Agung)