Masyarakat Cina di Surakarta hidup dalam lingkungan yang dipengaruhi oleh kebijakan politik. Permasalahannya adalah faktor-faktor politik apa yang kemudian berpengaruh pada arsitektur rumah Cina sejak masa kota-raja Kerajaan Mataram tahun 1745, periode kekuasaan Belanda (Praja Kejawen) tahun 1755-1942, hingga masa reformasi tahun 1998 dan bagaimana reaksi masyarakat Cina menghadapinya?
Menurut Dhani, keterkaitan politik dan arsitektur menjadi fokus teori yang dipakainya dalam proses analisis. Teori-teori itu dikaitkan dengan keberlanjutan bentukan arsitektur dalam mengantisipasi faktor modifikasinya. Teori substantif yang digunakan meliputi konsep pandangan hidup, kepribadian, dan kebudayaan masyarakat Cina serta bentukan arsitekturnya secara tradisional yang kemudian berkembang di perkotaan. “Metode yang dipergunakan adalah case study research dengan strategi kombinasi antara kajian teks dan kajian artefak saat ini melalui observasi dan wawancara,” terang Dhani di KPTU Fakultas Teknik UGM.
Kajian teks digunakan untuk pencarian teks yang terdapat pada referensi tentang arsitektur Cina dan sejarah perkembangan politik masyarakat Cina di Indonesia dan Surakarta. Proses ini dilanjutkan dengan pencarian makna di balik visual rumah/rumah toko Cina di Surakarta berdasarkan teks, wawancara, dan observasi langsung. “Kedua strategi ini dipergunakan dengan tujuan untuk memperkaya proposisi,” tambah perempuan kelahiran Surakarta, 7 Februari 1967 ini.
Hasil penelitian Dhani menunjukkan politik tidak hanya memengaruhi arsitektur, tetapi digunakan pula oleh masyarakat Cina sebagai reaksi terhadap kebijakan atau peristiwa politik. Faktor politik yang berpengaruh terhadap arsitektur rumah Cina di Surakarta terdiri atas segregasi etnik dan penciptaan access ke kawasan Pecinan. Hal itu dilakukan, antara lain, dengan cara akulturasi, assimilasi, dan pengembangan ekonomi, pembatasan ekonomi di pedesaan, pelarangan ekspresi identitas Cina, dan penghancuran rumah Cina.
“Reaksi masyarakat Cina terhadap kebijakan atau peristiwa politik terlihat dalam bentuk tata ruang dan fasad yang mengarah pada penguatan identitas kecinaan, adaptasi dengan budaya lain, membuat modifikasi, menciptakan identitas baru, menutup diri dan konservasi rumah lama,” jelas Ketua Jurusan Arsitektur FT UMS ini.
Ciri tradisional Cina yang terdapat dalam fasad adalah atap melengkung pada sopi-sopi/gunungan, bentuk simetri dengan atap datar tampak dari muka, dan bentuk Shophous dengan karakter toko pada bagian depan dan berlantai dua. Dengan temuan ini diharapkan dapat memberikan gambaran bahwa sebuah kebijakan politik dapat diaplikasikan dalam urban planning atau bentukan arsitektur. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan ini tidaklah bersifat linier dan akan tetap menimbulkan reaksi dengan bentukan arsitektur yang lain.
Bentukan arsitektur ini dapat sama dengan tujuan yang akan dicapai, tetapi bisa juga berbeda. “Tentu saja temuan ini akan menambah khazanah keilmuan dan dapat dipergunakan sebagai dasar penentuan kebijakan politik terkait dengan perencanaan kota dan arsitektur, terutama untuk perencanaan atau konservasi kawasan Pecinan,” pungkas Direktur Pusat Studi Arsitektur Islam, Jurusan Arsitektur, FT UMS ini. (Humas UGM/ Agung)
sumber: www.ugm.ac.id