Pendidikan Teknik yang lekat dengan teknologi tidak lantas membuat dirinya tercerabut pada kepekaan sosial. Begitulah Fawaz, alumnus Teknik Nuklir yang kemudian aktif pada kegiatan pendidikan masyarakat adat. Fawaz mengenal masyarakat adat sejak KKN di tahun 2008.
Pada tahun 2008, Fawaz pergi ke Jambi dalam projek KKN atau kuliah kerja nyata. Tujuannya ke Hutan Bukit 12, bergabung dengan Sokola Rimba mengenalkan literasi selama 2 bulan pada anak-anak rimba. Fawaz melakukan pendidikan seputar membaca, menulis, dan berhitung.
Sekembalinya dari KKN, 1 tahun kemudian dia kembali ke Jambi. Keputusan ini dasari oleh ingatan kuat tentang berbagai kegiatan saat KKN. Ingatan tentang aktivitas di hutan, mengajar, bermain, mencari kayu bakar, bahkan tentang nyamuk hutan yang tentu menjadi bagian kesehariannya. Tahun 2009 akhirnya Fawaz kembali ke Sokola Rimba, seorang diri, meski belum lulus kuliah. Setelah kurang lebih 3 bulan berkegiatan, dia diminta pulang ke Jogja menyelesaikan kuliah. Fawaz lulus di tahun 2011.
***
Setelah lulus, Fawaz masih tetap terhubung dengan Sokola. Kelulusannya membuatnya lebih leluasa. Pada tahun 2013 Sokola sedang merintis program di Papua, tepatnya di Mamugu Batas Batu. Fawaz yang sejak 2002 memiliki imajinasi tersendiri tentang Papua tentu tertarik untuk bergabung dan berangkat ke Papua. Pertengahan 2014 Fawaz melamar untuk bergabung. Saat itu Fawaz ada di semester akhir studi S2-nya. Meski studi lanjutnya belum selesai, tapi Dia mampu meyakinkan bahwa dirinya layak bergabung ke Sokola Asmat, mengajar literasi terapan.
Cerita tentang perjalanan, berbagai dinamika, dan akhirnya kembali pulang setelah selesai berkhidmad di Papua, Fawaz tuliskan pada buku berjudul “Yang Menyublim di Sela Hujan”, terbitan EA Book tahun 2017.
Sejak saat itu, berbagai progam Sokola diikutinya. Tercatat, Fawaz berkhidmad di Sokola Rimba Bukit 12 di Jambi saat KKN, kemudian Sokola Asmat di Batas Batu Papua, Sokola Kajang di Sulawesi Selatan, serta Sokola Kaki Gunung di Jember.
Selama di Papua, meski Fawaz tak memiliki ijazah guru, namun dia dipanggil Pak Guru. Selain itu juga dipanggil “kuri” yang berarti orang yang ahli. Panggilan pengakuan sekaligus penghormatan warga suku Asmat di Batas Batu.
*****
Kegiatan Sokola yang Fawaz turut serta di dalamnya, merupakan aktivitas belajar, sekolah kehidupan yang tidak tercerabut dari konteksnya. Hasilnya diharapkan dapat dimanfaatkan dalam kehidupan. Pada suku Asmat, Fawaz melihat apa yang dipelajari anak didiknya bermanfaat saat menerima upah dalam bekerja. Mereka menjadi tahu angka yang harus diterima dan yang saat itu benar-benar diterima. Dalam proses jual beli, juga demikian, berapa harga barang dan berapa kembalian yang tersisa dari pembayaran.
Pada salah satu unggahan media sosialnya, Fawaz berseru.
Apa guna sekolah jika mencerabut peserta didik dari realitas kehidupan sehari-hari. Apa guna pendidikan jika mengalienasi peserta didik dari adat istiadat dan kebudayaan komunitas mereka. Sekolah dan pendidikan harus berjalan beriringan, berpilin berkelindan dengan realitas sehari-hari dan adat istiadat serta kebudayaan masyarakat tempat peserta didik berasal. Dan, pendidikan harus bermanfaat bagi kehidupan keseharian, berguna sebagai alat bantu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh peserta didik dan komunitasnya. (sumber: Instagram)
Selain di Sokola, Fawaz juga melakukan berbagai penelitian, salah satunya melakukan kajian etnografi dan lingkungan di Kudus.
****
Kehidupan kampus, baik di ruang kelas maupun luar kelas turut membentuk Fawaz. Salah satunya Satu Bumi, organisasi pecinta alam yang digerakkan oleh mahasiswa Fakultas Teknik UGM. Fawaz aktif di dalamnya. “Saya tak tahu seberapa besar tepatnya, namun saya bisa pastikan Satu Bumi mengambil porsi cukup besar dalam membikin saya jadi seperti sekarang ini,” ungkap Fawaz.
“Saya tidak bisa mengonversi pengaruh Satu Bumi dalam keseharian saya dalam ukuran persentase. Saya lebih nyaman menggunakan ukuran kualitatif untuk ini,” lanjutnya. Saat di Satu Bumi, Fawaz memilih mendalami divisi Gunung Hutan usai diterima sebagai anggota penuh. Pilihan itu membawanya mendatangi gunung-gunung di beberapa pulau di Indonesia. Dari Pulau Jawa, ke Sumatera, ke Sulawesi, Lombok hingga Sumbawa. Perjalanan itu mengenalkannya dengan Sokola Rimba sekaligus memaksanya menulis catatan perjalanan. Hal ini dia lakukan agar perjalanan itu bisa terus dapat ceritakannya ke Umi (ibu), Abah (ayah), dan orang-orang lain yang dia cintai.
Membaca kisah Fawaz, saya jadi ingat apa yang ditulis Soe Hok Gie pada buku Catatan Seorang Demonstran halaman 118. Pada Kamis 28 Febrari 1964 itu Gie menulis “Apakah yang lebih tidak adil selain daripada mendidik sebagian kecil anak-anak orang kaya, dan menjadikan sebagian besar rakyat miskin tetap bodoh?”. Apa yang dilakukan Fawaz merupakan kontribusi nyata dalam memperluas akses pendidikan bagi pihak yang memiliki hak untuk itu, namun terhambat karena berbagai hal. Fawaz berusaha mewujudkan keadilan dan pemerataan dalam akses pendidikan. (Purwoko/Sumber: Buku Yang Menyublim di Sela Hujan, Instagram Fawaz).