Usaha untuk menjaga keberlanjutan alam dapat secara efektif dilakukan dengan mengidentifikasi sumber emisi dan potensi pengurangan yang dapat dilakukan. Berdasarkan data perkembangan emisi gas rumah kaca sejak 1990 hingga 2020, sektor industri, energi, dan transportasi menjadi sektor penyumbang emisi gas rumah kaca utama, dengan peningkatan paling pesat sebesar 50 persen selama 30 tahun terakhir. Pada tahun 2020, sektor industri menyumbang sebesar 31 persen, sektor energi sebesar 28 persen, dan transportasi menyumbang sebanyak 16 persen dari emisi gas rumah kaca global.
Menurut Prof. Himawan Tri Bayu Murti Petrus, S.T., M.E., D.Eng potensi disrupsi teknologi pada sektor industri, energi, dan transportasi dapat terjadi melalui pemanfaatan sumber energi baru terbarukan dan optimasi infrastruktur terkait. Sebagai contoh, disrupsi pada sektor transportasi melalui penggunaan kendaraan listrik memungkinkan peralihan ke sumber energi baru terbarukan secara masif pada sektor transportasi, yang sebelumnya bergantung pada sektor minyak dan gas.
Hal yang sama dapat ditemui pada sektor industri dengan penggunaan listrik dari sumber energi baru terbarukan. Beberapa upaya lain meliputi, peningkatan efisiensi produksi, penerapan teknologi alternatif ramah lingkungan, dan pemberian insentif pada produk-produk yang diproduksi melalui proses ramah lingkungan.
“Sektor industri, energi, dan transportasi memiliki potensi terbesar dalam pengurangan emisi gas rumah kaca dengan potensi penurunan emisi gas rumah kaca pada sektor energi mencapai 4,3 juta ton CO2 dengan penerapan energi baru terbarukan, sektor transportasi 1,9 juta ton CO2 dengan penerapan kendaraan listrik dan peningkatan efisiensi sektor transportasi, dan industri sebanyak 1,3 juta ton CO2 dari efisiensi proses produksi,” katanya di Balai Senat UGM, Selasa (12/9) saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Pengolahan Bahan Mineral Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
Menyampaikan pidato berjudul Implementasi Pendekatan Zero Waste Dan Ekonomi Sirkular Pada Pengolahan Mineral Kritis Dan Strategis Untuk Mewujudkan Pengolahan Bahan Mineral Berkelanjutan, Himawan menjelaskan penerapan teknologi ramah lingkungan membutuhkan bahan baku mineral yang didefinisikan dalam klasifikasi mineral kritis dan strategis. Bahkan Komisi Eropa menggolongkan beberapa jenis mineral kritis pada Critical Raw Materials Act dengan hasil penilaian terbaru pada tahun 2023 menggolongkan sebanyak 21 unsur strategis, dan 31 unsur dan 3 kelompok unsur, meliputi logam tanah jarang (LTJ) ringan dan berat dan golongan platina sebagai unsur kritis.
Beberapa mineral kritis yang menjadi perhatian terutama mineral yang dibutuhkan untuk produksi baterai seperti litium, nikel, kobalt, mangan, grafit, dan silikon menjadi salah satu pokok bahasan dengan kemungkinan besar terjadi defisit suplai dalam 50 tahun ke depan. Unsur lain yang cukup penting untuk diperhatikan, yakni logam tanah jarang (LTJ) seperti lantanum, serium, neodimium, praseodimium, skandium yang banyak digunakan sebagai aditif dan unsur penguat atau enhancer dalam peningkatan efisiensi dan kinerja teknologi hijau.
“Sebagian besar unsur tersebut memiliki titik kritis yang rawan akan gangguan, baik gangguan secara politis, sosial, ekonomi, dan geopolitik. Unsur grafit, silikon, mangan dan logam tanah jarang (LTJ) misalnya, rawan dari segi rantai pasokan akibat monopoli oleh Tiongkok. Sebagai gambaran, Tiongkok memegang 73 persen suplai grafit untuk baterai, 64 persen suplai silikon, 94 persen suplai mangan untuk baterai, dan 85 persen suplai logam tanah jarang (LTJ),” terangnya.
Bagi Himawan gesekan geopolitik antara Tiongkok dan negara barat dapat menyebabkan kekacauan rantai pasokan global, padahal mineral tersebut memiliki peran sangat penting dalam peralihan ke teknologi hijau. Posisi Indonesia sebagai blok netral dengan kekayaan mineral yang dimiliki dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pemain global untuk memenuhi rantai pasok mineral-mineral tersebut.
“Eksplorasi sumber primer dan sekunder mineral kritis dan strategis tersebut perlu menjadi perhatian, juga kemandirian pada tahapan hilirisasi untuk meningkatkan added value dari potensi mineral yang ada,” ucapnya.
Indonesia memiliki kekayaan dan berkah alam dalam bentuk mineral. Terdapat batuan laterit dengan jumlah besar di wilayah Sulawesi dengan potensi nikel dan kobalt, juga mangan, bauksit, timah yang melimpah dengan grade terbaik di dunia tersebar di wilayah Indonesia.
Untuk itu diperlukan paradigma baru dalam pengelolaan bahan mineral yang didasarkan atas aspek keberlanjutan, yaitu konsepsi zero waste dan ekonomi sirkular. Konsep pertama, yakni zero waste adalah proses pengolahan dengan mengambil seluruh unsur berharga yang dapat diperoleh, dengan memanfaatkan sisa hasil pengolahan (SHP) dan sisa hasil pengolahan dan pemurnian (SHPP) untuk penggunaan lain.
Konsep kedua, yakni ekonomi sirkular yang menitikberatkan pada pembentukan siklus pada suatu proses produksi. Dalam aplikasi konsep ekonomi sirkular, barang yang mencapai end of life atau barang habis pakai digunakan untuk keperluan lain selama dimungkinkan, dilanjutkan dengan proses ekstraktif untuk mengambil kembali unsur berharga apabila tidak terdapat alternatif penggunaan lain.
Pada konsep ekonomi sirkular, limbah yang terbentuk diminimasi hingga tujuan akhir yaitu 100 persen siklus tertutup selama memungkinkan. Kedua konsep zero waste dan ekonomi sirkular berkaitan erat, dengan tujuan akhir pada pengolahan berkelanjutan dengan menggeser sumber produksi primer dari sumber alam ke hasil daur ulang, dan meminimasi limbah yang dihasilkan semaksimal mungkin.
“Hal ini tentunya menghasilkan kemandirian pada rantai pasok domestik yang sangat kuat, sehingga dapat mengurangi dampak akibat ketidakstabilan rantai pasok global,” ungkapnya.
Penulis : Agung Nugroho