Air merupakan sumber bagi kehidupan manusia. Lalu, apa jadinya kalau terjadi krisis air? Bahkan hingga kekeringan berkepanjangan. Kondisi inilah yang sering terjadi di berbagai dataran tinggi di Indonesia ketika musim kemarau termasuk yang terjadi di Dusun Ngoho, Desa Kemitir, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Dusun ini sendiri merupakan dusun terluar dari Kabupaten Semarang yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Temanggung, dan sering digunakan sebagai jalur alternatif Semarang-Temanggung.
Berdasarkan informasi dari kepala desa setempat, ketika musim kemarau tiba sumur warga tidak lagi mengeluarkan air bahkan dipastikan mengering. Sementara itu, penelitian lain yang pernah dilakukan oleh Badan Geologi Jawa Tengah dengan pembuatan sumur artesis sedalam 200 m juga tidak memberikan hasil. Keadaan demikian membuat warga harus bersusah payah untuk mendapatkan air sebagai pemenuhan kebutuhan baik untuk rumah tangga maupun pertanian.
Berbeda dengan kondisi sulitnya memperoleh air, Dusun Ngoho yang terletak di Dataran Tinggi Ungaran ini, memiliki potensi kabut yang tinggi. Kabut hampir setiap hari muncul, dimana pada saat musim kemarau biasa terjadi pada sore hari menjelang gelap hingga pagi harinya, dan pada saat musim hujan biasa terjadi pada pukul 11.00. Potensi kabut yang begitu besar ini, tetapi terkendala belum terdapatnya teknologi untuk bisa memanfaatkannya. Padahal, jika bisa dimanfaatkan dapat membantu untuk mengurangi krisis air di daerah ini. Dari kondisi kekeringan dan potensi kabut inilah, beberapa mahasiwa Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan UGM yang terdiri dari Aditya Riski Taufani (ketua tim) , Puji Utomo, Taufiq Ilham Maulana, dan Musofa, memiliki sebuah gagasan untuk menerapkan teknologi “pemanen kabut” yang mampu menangkap dan mengumpulkan air dalam kabut sehingga bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan akhirnya, kekeringan di musim kemarau dapat teratasi.
Bersama dengan dosen pembimbing, Prof. Dr. Ir. Fatchan Nurrochmad, M.Agr., mereka mulai mengembangkan teknologi “pemanen kabut” tersebut melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) bidang Penelitian yang didanai oleh Dikti tahun 2013 ini.
Teknologi pemanen kabut sendiri hanya terdiri dari rancangan alat yang sederhana dan sangat ekonomis. Bahkan bisa dikatakan memiliki prinsip tepat guna karena sangat memungkinkan di produksi oleh masyarakat secara massal. Bahkan, jika teknologi ini sangat efektif dalam menghasilkan air bisa jadi teknologi dapat berkelanjutan.
“Kami berharap teknologi ‘pemanen kabut’ ini dapat menjadikan alternatif penyelesain masalah kekeringan di berbagai dataran tinggi di Indonesia yang memiliki potensi kabut yang cukup tinggi sehingga kasus kekeringan dataran tinggi tidak terulang kembali seperti yang terjadi di Dusun Ngoho, Desa Kemitir, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah,” ungkap Aditya Riski Taufani sebagai Ketua Tim dari penelitian tersebut.
“Kami juga berharap segenap lapisan masyarakat terutama pemerintah dapat mendukung sepenuhnya penerapan teknologi “pemanen kabut” ini. Meskipun sementara ini, teknologi ini masih bersifat ‘pilot project’ untuk menentukan seberapa besar debit air yang dapat dikumpulkan setiap harinya sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat”. Ujar kembali Aditya, mahasiswa semester akhir Teknik Sipil dan Lingkungan UGM ini.
“Kami tetap optimis teknologi “pemanen kabut” ini akan menuai keberhasilan unutk mengumpulkan air dari kabut dalam jumlah besar. Maka, bisa dipastikan tak ada lagi kasus kekeringan di dusun Ngoho ini. Bahkan, bisa juga diterapkan di berbagai daerah yang memiliki kabut dalam jumlah yang besar” pungkasnya. (pji)