YOGYAKARTA – Universitas Gadjah Mada (UGM) tengah mendorong para ilmuwannya untuk banyak menghasilkan penelitian di bidang kegunungapian. Penelitian tidak hanya tentang fenomena letusan gunung api dan teknologinya, tetapi juga mengenai kondisi ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat yang tinggal di sekitar lereng gunung api. “UGM ingin banyak hasilkan ahli-ahli di bidang kegunungapian,” kata Wakil Rektor Bidang Alumni dan Pengembangan Usaha (WR APU) UGM, Prof. Ir. Atyanto Dharoko, M.Phil., Ph.D., saat membuka Workshop Pengurangan Risiko Bencana di KPTU Fakultas Teknik UGM, Rabu (16/2). Hadir dalam acara tersebut, Kepala Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM), Dr. Sukhyar, dan Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana BNPB, Ir. Sugeng Tri Utomo.
Kepala Badan Geologi, Kementerian ESDM, Dr. Sukhyar, sangat mendukung kebijakan UGM untuk menghasilkan lebih banyak lagi penelitian kegunungapian. Menurutnya, Indonesia saat ini masih lemah dalam hal ilmu kebencanaan beserta teknologinya. Meskipun banyak perguruan tinggi sudah membuka studi manajemen kebencanaan, tetap saja masih lemah dalam kapasitas keilmuan dan teknologi. “Yang saya tahu, UGM sejak dahulu merupakan perguruan tinggi pertama, yang mengembangkan alat monitoring kegunungapian,” katanya.
Diakui Sukhyar, penguasaan teknologi di bidang kebencanaan sangat penting. Ia mencontohkan, untuk alat deteksi tsunami, pihaknya menggunakan alat buatan Jerman. Ketika alat tersebut rusak, tidak ada satu pun ahli dari Indonesia yang bisa memperbaiki. “Kita pun terpaksa mengundang orang Jerman untuk memperbaikinya,” tambahnya.
Perhatian UGM di bidang kegunungapian ini, menurut Sukhyar, sangat membantu tugas dari Badan Geologi, apalagi UGM memiliki hubungan kerja sama yang lebih luas dengan mitra di luar negeri. Syukyar menyebutkan, saat ini terdapat tiga Negara di dunia yang fakus pada penelitian kegunungapian yakni Amerika Serikat, Jepang, dan Perancis.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Dr. Syamsul Maarif, M.Si., dalam sambutan yang dibacakan oleh Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana, Ir. Sugeng Tri Utomo, menyampaikan perguruan tinggi dapat berperan penting sebagai agen perubahan dalam program penanggulangan risiko bencana, antara lain membantu pemda dalam penyusunan legislasi dan regulasi pengurangan risiko bencana di daerah, pembuatan peta rawan bencana, dan simulasi mitigasi bencana.
Selain itu, diharapkan pula perguruan tinggi juga terlibat dalam pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Sampai dengan saat ini, baru 31 provinsi dari 33 provinsi yang memiliki badan penanggulangan bencana. “Di tingkat kabupaten, baru ada 306 kabupaten dari total 520 kabupaten,” tuturnya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
sumber: ugm.ac.id