Yogyakarta sebagai Kota Pelajar, selalu menjadi magnet yang kuat bagi datangnya pelajar dari luar daerah. Hal ini menyebabkan populasi manusia di Yogyakarta terus bertambah yang ternyata memiliki kontribusi pada bertambahnya jumlah kendaraan bermotor pribadi. Akhirnya, padatnya lalu lintas dan terjadinya kemacetan pada jalur dan jam tertentu pun tidak dapat dihindari. Baik disadari atau tidak, kondisi tersebut mempengaruhi berbagai kondisi fisis kota seperti suhu dan kelembaban udara, kadar gas polutan, dan kebisingan. Menyadari kondisi tersebut, 4 mahasiswa yang tergabung dalam Acoustics Research Center UGM melakukan pemetaan kebisingan di wilayah kampus UGM dibawah bimbingan Bapak Nazrul Effendy, S.T., M.Eng., Ph.D.
Randy Frans Fela sebagai Koordinator ARC mengatakan, “Selain untuk mengetahui profil kebumian, ilmu pemetaan sangatlah penting dan sudah banyak dikembangkan di dunia untuk pemetaan dan monitoring parameter fisik seperti kebisingan, kadar gas polutan (CO2, CO, dsb) serta suhu dan kelembaban. Sayangnya penelitian semacam ini relatif jarang yang melakukan karena membutuhkan jangka waktu yang panjang untuk mendapatkan perubahan trend parameter fisis sebuah kota”.
Menurut Dian Dianti Avoressi selaku ketua tim PKM, pemilihan wilayah UGM dikarenakan studi kasusnya adalah wilayah institusi pendidikan dan UGM dirasa sangat cocok untuk studi tersebut. “Terdapat 5 total jenis area yang kami petakan meliputi wilayah persinggungan antara kampus dengan beberapa fasilitas publik seperti rumah sakit, tempat makan, tempat ibadah, pusat perbelanjaan, dan perempatan jalan. Dengan jumlah anggota yang minim, pengambilan data juga menjadi cukup lama karena setiap jenis area memiliki jumlah titik pengukuran yang banyak dan untuk setiap titik dilakukan perekaman selama rentang waktu tertentu”, lanjutnya.
Data yang didapatkan selanjutnya diolah sinyalnya menggunakan software MATLAB kemudian dipetakan menggunakan Surfer 11 untuk mendapatkan kontur dan sebaran spektrum tingkat tekanan bunyi. “Hasil pemetaan tersebut dapat dijadikan acuan bagi desain perbaikan tata ruang kota. Misalnya saja di area tertentu mengalami kebocoran kebisingan yang tinggi, maka dapat ditangani dengan meletakkan vegetasi yang dapat berfungsi sebagai peredam noise tersebut”, ungkap Khairani Zakiya sebagai penyusun rekomendasi model hasil pemetaan.
Berdasarkan penuturan dari Gigih dan Hakim, penelitian ini juga memiliki tantangan dan hambatan tersendiri seperti kondisi cuaca. Pengambilan data tidak dapat dilakukan jika hujan sehingga total waktu pengambilan data menjadi lebih lama.
“Belum lagi jika ada orang yang sengaja mendekati kami kemudian bertanya macam-macam, tentu saja tidak kami jawab karena suara kami akan ikut terekam,” ujar Gigih.
“Kadang juga ada yang mengira kalau kami sedang shooting film,” lanjut Uswatun Nisa.
Mengenai harapan di masa depan tentang pemetaan kebisingan yang dilakukan, Dian menegaskan, “Pemetaan ini akan kami kembangkan terus menerus dengan jangkauan wilayah yang lebih luas dan kajian yang lebih dalam. Kami juga sudah merencanakan penggunaan peralatan terintegasi dan pemantauan secara real-time yang bisa dilakukan untuk pemantauan kebisingan kota. Kami juga berterima kasih kepada UGM yang pada akhir April lalu telah bekerja sama dengan salah satu perusahaan software GIS terbaik sehingga dapat menjadi alat bagi pengembangan penelitian kami”.