Terbatasnya konsep dan teori arsitektur kota secara deskriptif dan normatif menjadikan praktik rancang kota di Indonesia cenderung mengadopsi konsep dan teori barat. Akibatnya, rancang bangun arsitektur yang ada belum memenuhi kesesuaian dengan karakteristik kehidupan masyarakat Indonesia yang spesifik dan heterogen. “Inilah situasi yang mendorong dikembangkannya teori-teori arsitektur kota berbasis fenomena arsitektur kota yang berkembang di Indonesia,” tutur Ir. Djoko Wijono, M.Arch. di Sekolah Pascasarjana UGM, Rabu (16/2), saat menempuh ujian terbuka program doktor.
Arsitektur kota kecil merupakan konfigurasi ruang geometris terbentuk linier dalam tiga dimensi berkarakter, terkonsentrasi pada persilangan yang terbentuk oleh gugusan bangunan dengan pelbagai fungsi, yang didominasi oleh komersial dan sosial. Sementara itu, pepohonan serta komponen kecil lain yang terangkai oleh kekuatan infrastruktur, terutama jalan, dinilai mampu memfasilitasi kegiatan-kegiatan masyarakat sesuai dengan tujuan yang diharapkan masyarakat. “Semakin sesuai infrastruktur dengan tujuan yang diinginkan masyarakat, maka semakin kuat eksistensi arsitektur kota,” terang pria kelahiran Yogyakarta, 15 Agustus 1952 ini.
Dalam pandangan Djoko Wijono, arsitektur kota kecil merupakan produk tidak langsung dari berbagai kegiatan manusia karena aktivitas kehidupan memiliki kaitan erat dengan kota tersebut. Para warga mencari kualitas hidup dengan pelbagai cara yang dapat dilakukan. Arsitektur kota kecil juga bukan hasil kreasi kerekayasaan manusia yang dilakukan dengan sengaja (blue print atau grand design), melainkan terbuat dan terbangun oleh upaya mewadahi kegiatan dan menyeleksi masalah manusia. “Serta berbagai kegiatan manusia dalam mencapai tujuan-tujuan mempertahankan dan mengembangkan kualitas kehidupan,” kata dosen Jurusan Teknik Arsitektur FT UGM ini.
Menurut Djoko, kualitas kehidupan yang diinginkan dalam berbagai dimensi ekonomi, sosial, kultural, politik, dan psikologi merupakan aspek sentral dan paling penting dalam kehidupan manusia. Kualitas kehidupan yang dimaksud ternyata memiliki kekuatan besar dalam membentuk dan membangun arsitektur kota dalam berbagai karakternya.
Konsep saged berpotensi untuk berkembang dan berlaku dalam pelbagai skala yang berbeda dan bahkan di luar konteks arsitektur kota, seperti arsitektur ruang dalam, arsitektur bangunan, dan arsitektur lanskap.
Saged juga berpotensi berkembang pada arsitektur kota pada kota besar dan kota yang dibangun berdasar cetak biru rancang bangun arsitektur kota. “Nilai-nilai yang selalu melekat secata laten pada pola pikir manusia akan selalu muncul dan menjadi kekuatan dahsyat bila lingkungan tidak mampu memenuhi pola pikir tersebut,” terang Djoko Wijono yang dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan dan menjadi doktor ke-1346 yang diluluskan UGM. (Humas UGM/ Agung)
sumber: ugm.ac.id