Pembukaan hutan gambut telah lama dilakukan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan lahan tanah mineral yang tersedia sehingga mendorong masyarakat untuk melakukan konversi lahan gambut menjadi area tanam usaha industri pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Namun begitu, pembukaan lahan gambut akan memicu terjadinya degradasi akibat dibangunnya jaringan kanal yang masif, lebar, dan dalam. Sebab, jaringan kanal tersebut telah menyebabkan turunnya muka air tanah, dan berkurangnya kemampuan menyimpan cadangan air tanah di kubah gambut.
Hal itu dikemukakan oleh Dosen Departemen Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Bambang Kun Cahyono, ST., M.Sc., dalam ujian promosi doktor di Program studi Doktor Teknik Geomatika, Departemen Teknik Geodesi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Kamis (4/8) di ruang seminar Sekolah Pascasarjana UGM.
Dalam disertasinya yang berjudul Pemetaan Elevasi Permukaan Topografi dan Area Prioritas Restorasi Lahan Gambut Tropis Terdegradasi, Bambang Kun mengatakan keringnya lahan gambut semakin terasa ketika hujan tidak turun dalam waktu yang cukup panjang. Hal ini terjadi karena penataan air cenderung hanya difokuskan pada wilayah konsesi saja, tanpa melihat kondisi hidrologis wilayah gambut secara keseluruhan. “Keringnya tanah gambut semakin mempercepat degradasi yang terjadi. Kondisi degradasi di lahan gambut yang semakin parah, telah menggugah kesadaran untuk menghentikan kerusakan dan memperbaiki kembali kondisi lahan gambut,” tuturnya.
Meski berbagai usaha restorasi telah dilakukan oleh pemerintah dan berbagai pihak untuk mengembalikan fungsi ekosistem gambut. Usaha restorasi yang dilakukan seperti pembasahan kembali kawasan gambut, revegetasi hutan dan lahan gambut yang telah rusak, dan serta revitalisasi mata pencaharian masyarakat lokal. Namun begitu, kegiatan restorasi memerlukan data yang baik dan akurat, serta diakuisisi dari berbagai sumber, sensor, dan multi-temporal. Kebutuhan peta yang teliti dan mencakup seluruh area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) diperlukan dalam rangka mengidentifikasi posisi jaringan kanal yang ada serta arah aliran air yang terjadi.
Kondisi tanah gambut yang sangat datar dan keberadaan pasang surut laut yang memengaruhi kelembaban tanah gambut menjadikan pentingnya bidang referensi vertikal fisik atau Mean Sea Level (MSL) yang teliti di area. Oleh karena itu, untuk mempercepat kegiatan restorasi dan pengambilan kebijakan, diperlukan informasi yang cepat dan presisi yang didukung peta kedalaman gambut. Lalu, estimasi kedalaman gambut bisa dilakukan berdasarkan kondisi fisik area yang dapat diamati, baik dari penutup lahan, sifat tanah, geologi dan litologi, karakteristik topografi, dan kedekatan spasial. “Penatakelolaan lahan gambut terdegradasi agar lebih terarah dan efektif, perlu dilakukan penentuan area prioritas. Identifikasi kerusakan tersebut bisa dilihat berdasarkan kondisi neraca air, periode kering, kebakaran berulang, jaringan saluran, dan kelembaban tanah,” ujarnya.
Berdasarkan hasil penelitiannya, identifikasi penggunaan lahan dan tutupan lahan merupakan elemen penting untuk menganalisis dan mengevaluasi tingkat degradasi lahan gambut. Selain itu, faktor penting dalam analisis dan evaluasi kerusakan dan prioritas lahan gambut adalah curah hujan. “Hujan merupakan satu-satunya sumber air bagi lahan gambut ombrogen, yang memiliki hubungan yang erat dengan neraca air, kebasahan tanah, frekuensi kebakaran, dan periode kering. Khusus untuk wilayah pesisir, pengaruh pasang surut ternyata mampu menjaga kebasahan dan kelembaban tanah gambut sehingga mengurangi risiko kekeringan,” jelasnya.
Ia menyebutkan bahwa daerah yang terkena dampak pasang surut hampir tidak terjadi kebakaran. Area prioritas ditentukan berdasarkan hasil analisis tingkat kerusakan setiap sub-KHG. Parameter yang digunakan dalam analisis tersebut yaitu neraca air, jumlah bulan defisit, rata-rata panjang hari tanpa hujan, hari tanpa hujan ekstrim, riwayat kebakaran 10 tahun, kejadian kebakaran 5 tahun, rata-rata ketebalan gambut, dan kecepatan kehilangan air. Selanjutnya metode scoring diterapkan dalam analisis tingkat keparahan kerusakan lahan gambut, yang ditentukan berdasarkan ranking untuk setiap parameter.
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap neraca air, periode kering, kelembaban tanah, kerapatan vegetasi, riwayat kebakaran, kemampuan menyimpan air, dan ketebalan gambut, didapatkan kondisi sub-KHG terburuk. Sub-KHG 16, 15, dan 14 merupakan yang terburuk di KHG Kahayan-Sebangau. SubKHG 4 merupakan sub-KHG terburuk di KHG Pulau Tebing Tinggi. Dan di KHG Mempawah-Peniti sub-KHG terburuk adalah sub-KHG 1 yang harus diprioritaskan. (Sumber web UGM/Rekaman ujian terbuka ada di Youtube)