Upaya pengurangan risiko bencana gerakan tanah merupakan permasalahan yang kompleks. Hal tersebut tidak hanya dikontrol oleh kondisi geologi, tetapi juga oleh berbagai permasalahan sosial, psikologi, ekonomi, hukum, dan lingkungan.
Dalam pidato berjudul “Peran Geologi Teknik dan Lingkungan dalam Pengurangan Risiko Bencana Gerakan Tanah”, Dwikorita menyebutkan guna menjawab tantangan dalam menghadapi risiko bencana gerakan tanah, British Council melalui program Development Partnership in Higher Education (DelPHE) yang bekerja sama dengan KKN PPM UGM mulai tahun 2007 telah mengembangkan suatu metode inovatif untuk pemetaan bahaya gerakan tanah berbasis partisipasi masyarakat.
Penerapan konsep Geologi Teknik yang mendapat dukungan pemikiran disiplin ilmu psikologi dan sosiologi terbukti efektif dalam proses pengembangan metode pemetaan bahaya longsor melalui partisipasi masyarakat. “Dengan peta bahaya longsor ini, masyarakat dapat mengetahui zona aman dan zona yang terancam bahaya longsor di wilayah desa mereka sehingga mereka dapat selalu berupaya untuk memelihara lingkungan agar zona bahaya tidak berkembang menjadi zona bahaya longsor,” papar istri Prof. Ir. Sigit Priyanto, M.Sc., Ph.D. ini.
Menurut Dwikorita, peta tersebut bermanfaat pula untuk penyusunan rencana pengembangan wilayah atau penataan lahan desa sehingga potensi sumber daya lahan dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat desa, sekaligus meminimalkan potensi kejadian longsor. Sehubungan dengan itu, partisipasi masyarakat mutlak diperlukan dalam proses pemetaan ini. “Semua ini agar menjamin peta yang dihasilkan benar-benar dapat dipahami dan efektif dimanfaatkan masyarakat desa,” tambahnya.
Dikatakan oleh ibu Amiluhur Priyanto dan Umayra Priyanto ini, untuk menyebarluaskan metode inovatif pemetaan dan agar mampu dimanfaatkan masyarakat di negara-negara berkembang, berbagai paper ilmiah yang merinci inovasi konsep, justifikasi, dan prosedur standar pemetaan dengan metode geologi berbasis partisipasi masyarakat telah diajukan kepada International Association of Engineering Geology (IAEG). “Pada akhirnya, konsep dan metode pemetaan ini mendapat respon baik dari masyarakat internasional. Bahkan, konsep ini akan dipresentasikan dan dikaji lebih lanjut dalam international congress yang akan digelar IAEG pada tanggal 5-10 September 2010 mendatang di Auckland, New Zealand,” tuturnya.
Sementara itu, untuk pengembangan dan penerapan sistem peringatan dini gerakan tanah, meskipun penting dan bermanfaat bagi penyelamatan jiwa manusia, pada kenyataannya menghadapi permasalahan yang cukup kompleks dan penuh tantangan akibat berbagai kendala, mulai persiapan teknis hingga pada tahap penerapan sistem di komunitas masyarakat yang tinggal di daerah rawan longsor. Serentetan tantangan yang harus dipecahkan, antara lain, meliputi ketepatan pemilihan lokasi pemasangan dan penentuan desain jenis peralatan deteksi dini longsor, keakuratan dalam penentuan kondisi kritis yang menetapkan kapan sirine harus berbunyi, dan jaminan efektivitas dan keberlanjutan penerapan sistem deteksi dini tersebut.
Untuk itu, lanjutnya, dibutuhkan pendekatan multidisiplin yang terdiri atas disiplin Teknik Geologi (bidang ilmu Geologi Teknik dan Geologi Lingkungan), Teknik Sipil dan Lingkungan, Teknik Elektro, Teknik Geodesi, ilmu sosial, dan ilmu psikologi. Penerapan bidang ilmu Geologi Teknik dan Geologi Lingkungan sangat diperlukan, terutama untuk mengidentifikasi dan memprediksi model dan mekanisme gerakan, sehingga desain jenis peralatan dan jaringan sistem yang harus dipasang dapat ditentukan secara tepat.
“Begitulah, hasil pemetaan bahaya gerakan tanah ini sangat diperlukan untuk menentukan prioritas lokasi pemasangan alat serta sistem pemantauan dan deteksi dini longsor. Jadi, jelaslah bahwa upaya pengurangan risiko bencana gerakan tanah sangat memerlukan pendekatan multidisiplin di mana Geologi Teknik dan Geologi Lingkungan menjadi dua bidang ilmu kunci yang perlu disinergikan dengan berbagai disiplin atau bidang ilmu lainnya guna mendukung upaya pengurangan risiko bencana secara efektif,” pungkas perempuan kelahiran Yogyakarta, 6 Juni 1964 ini. (Humas UGM/ Agung)