Kinerja perkerasan jaringan jalan daerah saat ini sangat memprihatinkan. Data tahun 2010 menyebutkan sebanyak 61,11% jalan provinsi dalam kondisi tidak mantap, 28,21% rusak ringan dan 32,9% rusak berat. Sementara jalan kabupaten/kota dalam kondisi tidak mantap sebesar 53,01%, rusak ringan 31,14% dan rusak berat 21,87%.
Dikatakannya, fenomena kerusakan jalan daerah di Indonesia sulit dideteksi. Berbagai faktor tertentu pada suatu ruas jalan menunjukkan jumlah dan tipe kerusakan sangat beragam. Sehingga sangat sulit mencari penyebab paling dominan. Hasil penelitian yang dilakukan Agus Taufiq Mulyono selama tahun 2009-2010 di 102 kabupaten menunjukkan bahwa akar masalah yang menjadi penyebab kerusakan struktural kerusakan jalan daerah adalah ketidakpatuhan penyelanggara jalan. “Banyak aparatur pemerintah dan pemangku kepentingan di bidang jalan tidak patuh terhadap penerapan standar, pedoman, dan manual (SPM) mutu yang disepakati dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengoperasian serta pemeliharaan jalan,” katanya.
Bila dikaitkan dengan tiga faktor dominan yang menyebabkan kerusakan jalan daerah, kata Agus, ada tiga ranah kepatuhan penerapan standar yang harus dilakukan. Ketiga ranah tersebut, diantaranya ranah kepatuhan penerapan standar berkaitan dengan perencanaan dan mutu pelaksanaan serta pengawasan konstruksi jalan, dan ranah kepatuhan penerapan standar berkaitan dengan pengaturan lalu lintas dan angkutan jalan, termasuk pengendalian beban sumbu gandar kendaraan berat angkutan barang serta gangguan terhadap fungsi dan manfaat jalan. “Ketiga adalah ranah kepatuhan penerapan standar yang berkaitan dengan penataan pemanfaatan ruang yang berada di luar rumija (ruang milik jalan), termasuk pengendalian luasan catchment area air hujan agar tidak membanjiri badan jalan,” tutur dosen Fakultas Teknik Sipil FT UGM, yang juga menjabat Ketua Bidang Keahlian Ikatan Ahli Bandar Udara Indonesia (IABI) 2010-2013.
Fakta di lapangan menunjukkan penerapan standar mutu dalam penyelenggaraan jalan daerah masih jauh di bawah 50,0% dari target implementasi substansi standar mutu yang diharapkan. Kondisi tersebut mengindikasikan budaya standard minded penyelenggaraan jalan daerah belum tercapai. Artinya para aparatur pemerintah dan pemangku kepentingan di bidang jalan daerah belum sepenuhnya menjadikan standar mutu bagian inti dari paradigma berfikir dan bertindak.
Dalam pandangan Agus, ketidakpatuhan terhadap penerapan standar mutu dalam penyelenggaraan jalan daerah selama ini belum dapat dimonitor dan dievaluasi. Hal tersebut dikarenakan sedemikian kompleks indikator dan parameter yang mempengaruhi.
Bahwa monitoring tidak dapat dilakukan parsial. Monitoring mestinya dilakukan tidak hanya saat membangun dan memelihara konstruksi jalan di lapangan, namun harus ditinjau secara holistik dari tahapan mengenal melalui sosialisasi hingga tahapan implementasinya. “Karenanya perlu dikembangkan pendekatan yang sistemik, hierarkis, dan komprehensif dalam monitoring dan evaluasi kepatuhan penyelenggaraan jalan daerah dalam menerapkan standar mutu,” papar suami Ir. Hj. Rr. Mursilah Barida, ayah tiga anak ini.
Bahwa pendekatan sistemik ini diilustrasikan sebagai sistem atau siklus monitoring yang terus menerus dengan pola subsistem 5 M, yaitu Mengenal, Memiliki, Memahami, Menerapkan dan Mengevaluasi. Selanjutnya setiap subsistem ini diuraikan secara hierarkis dalam variabel-variabel beserta indikator pengukurannya. (Humas UGM/ Agung)