Perjalanan Ir. Prijono Nugroho Djojomartono, MSP., Ph.D untuk menjadi dosen begitu panjang.
Kehidupan Prijono sejak kecil penuh dengan keterbatasan secara ekonomi. Pria asal Kotagede ini, sejak zaman sekolah sudah bekerja. Saat itu, ia juga banyak membantu orang tuanya membuat kerajinan imitasi dari kuningan.
Bermula ketika duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Dikisahkan oleh Prijono, ia sudah mandiri dalam segala hal, termasuk mengurus diri sendiri dan bekerja. Orang tua banyak mengajarinya membeli bahan dan membuat kerajinan kuningan hingga jadi, kemudian menitipkanya kepada pedagang untuk dijual. Prijono semasa SMP sampai SMA sudah bisa membiayai diri sendiri.
Sekolah sambil Bekerja
Banyak teman Prijono yang memilih jalan hidup berbeda dengannya. Jarang teman Prijono yang menamatkan sekolahnya, paling tinggi lulusan SMP. Sebab, mereka sudah bekerja dan merasa sudah bisa mencari uang, sehingga tidak perlu sekolah. Prijono merupakan salah satu anak yang beruntung waktu itu.
Kedua orang tuanya tidak pernah memberikan tuntutan tinggi kepadanya. Hal yang paling penting, Prijono bisa bekerja, termasuk melakukan pekerjaan rumah dan pekerjaan yang menghasilkan. Ibu Prijono banyak mengajarkannya bagaimana melakukan pekerjaan rumah. Sementara ayahnya mengajarkan pekerjaan yang menghasilkan.
Diakui Prijono, saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar, ia menjadi murid yang tidak pintar. Ia kemudian memilih pindah sekolah dengan grade yang tidak begitu tinggi, sehingga menjadi salah satu murid pintar di sana. Predikat murid pintar menumbuhkan semangat baginya untuk belajar terus. Pekerjaan dan keberhasilan di Sekolah Dasar mendukung Prijono meraih kesuksesan di masa SMA.
“Ikhlas dan senang menjadi sesuatu yang sulit sekarang. Orang tua dulu tak pernah terkesan menyuruh dan saya tak pernah merasa disuruh, justru senang melakukan setiap pekerjaan,” kenang Prijono kepada KAGAMA, belum lama ini di ruang kerjanya.
Awal bekerja, kata Prijono, orang tuanya mengajarkan dengan perlahan dan sabar. Orang tua benar-benar menghargai proses, dari yang tadinya hanya belajar membuat kerajinan sampai bisa menjadi pekerjaan yang menghasilkan. Demikian saat menjadi mahasiswa, begitu tidak ada jam kuliah, Prijono langsung mengisi waktu luangnya untuk bekerja di suatu perusahaan. Tahun berikutnya, ia memberanikan diri mengambil pekerjaan sendiri.
Ia juga banyak membantu di departemennya. Prijono kemudian lulus menjadi sarjana Teknik Geodesi UGM tahun 1983 dengan pengalaman yang cukup di dunia kerja. Keinginan untuk mengembangkan keilmuan Teknik Geodesi semakin terlihat ketika Prijono bersama anggota Keluarga Mahasiswa Teknik Geodesi (KMTG) lainnya ingin mengenalkan Teknik Geodesi kepada siswa SMA, melalui event olahraga.
Ingin Menjadi Dosen
Pria kelahiran 61 tahun ini, sudah memiliki keinginan menjadi dosen sejak kuliah.
“Tidak usah ke mana-mana, di sini saja,” ujar Prijono, menirukan salah satu dosen yang menginginkan dirinya tetap mengabdi di UGM. Tahun 1984 Prijono melanjutkan pendidikan master di ITB dan pendidikan doktor di Universiti Teknologi Malaysia. Bersamaan dengan itu, Prijono juga banyak melakukan kerja sosial untuk membantu masyarakat Aceh pasca bencana Tsunami. Setelah sekian lama menempuh studi, akhirnya Prijono resmi menjadi dosen.
Kini ia didapuk sebagai Ketua Departemen Teknik Geodesi UGM.
Hikmah dari Ajaran Orang Tua
Prijono sering membandingkan masa kuliahnya dulu dengan sekarang.
“Kehidupan mahasiswa dulu cukup nyaman, tidak dibebani dengan tugas akademik yang banyak, sistem masih longgar sekali,” ujar Prijono.
Kondisi ini membuatnya memiliki banyak kesempatan menggali pengalaman kerja, di samping menyelesaikan kewajiban akademik. Pengalaman berkarier Prijono juga tak terlepas dari pengalaman masa kecilnya.
Prijono mengambil hikmah dari apa yang diajarkan oleh orang tua.
“Sekarang menghabiskan sisa umur di sini. Padahal dulu masih belajar mengukir-ukir kuningan. Tidak terasa,” tuturnya. (Kinanthi)
Sumber foto dan berita: http://kagama.co