YOGYAKARTA – Penguasaan teknologi mutlak diperlukan jika bangsa ini ingin berdaulat. Hanya saja, teknologi tidak bisa berjalan sendirian. Perlu dukungan politik. Harus disadari sumberdaya negeri ini sekarang ini hampir semuanya tersedot ke urusan politik. “Agar mampu mengejar ketertinggalan, kita semua harus lebih bijak. Perlu kerelaan kawan-kawan di bidang politik sehingga pengembangan teknologi bisa lebih ditingkatkan,” ungkap Dekan Fakultas Teknik (FT) UGM, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng., D.Eng, di kampus setempat, Jumat (13/12), berkaitan dengan kongres nasional ‘Kedaulatan Energi untuk Kesejahteraan Rakyat Indonesia’ di Balai Senat UGM, 16-17 Desember 2013.
Bangsa Indonesia, lanjut Panut, sebenarnya merupakan bangsa yang besar dan cerdas. “Tapi sistem kita yang sebenarnya belum cerdas. Pemerintah pun belum melaksanakan amanat UUD secara sungguh-sungguh terutama berkaitan dengan upaya mencerdaskan bangsa,” katanya.
Di internal sendiri pun kita seringkali konflik. Ia mencontohkan mengenai kebijakan peluncuran mobil murah, sementara di pihak lain sedang digencarkan transportasi massal. “Kebijakan mobil murah itu merupakan salah satu bukti bahwa bangsa ini belum berdaulat, terutama di bidang teknologi,” tutur Panut kemudian.
Untuk mengejar ketertinggalan teknologi dengan negara lain yang lebih maju, Indonesia jelas tidak akan mampu. “Karena itu kita harus melakukan seperti yang dilakukan Jepang, Korea jaman dulu dengan cara melakukan ‘reverse technology’, meniru hasil teknologi yang sebelumnya telah dikembangkan atau diproduksi negara lain yang lebih maju,” paparnya.
Dengan cara itu, Panut optimis Indonesia akan mampu berdaulat dalam hal teknologi secara lebih cepat. “Saya kira sepuluh hingga lima belas tahun lagi merupakan waktu yang cukup jika kita mau melakukan reverse technology. Tentu ditopang dengan sistem yang cerdas juga,” tandasnya.
Kondisi serupa sebenarnya pernah dialami Indonesia pada waktu Habibie dipanggil pulang ke Indonesia. “Ketika itu muncul pertarungan antara madzhab teknologi dengan madzhab ekonomi. Akhirnya yang menang madzhab ekonomi sehingga Indonesia tak bisa mengulangi kejayaannya di bidang teknologi seperti tahun-tahun limapuluhan dengan kerjasama Poros Timur-nya,” ungkap Panut.
Ketua panitia kongres, Dr Adhika Widyaparaga mengemukakan, acara dalam rangka dies natalis ke-64 UGM itu akan mengundang Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional Prof Dr Armida Salsiah Alisjahbana SE MA sebagai pembicara kunci pada hari pertama, selain pembicara lain. Sedangkan pembicara kunci pada hari kedua, Executive Director Iraq Energy Institute Dr Luay Jawad Al-Khatteeb. “Kongres itu sendiri dimaksudkan sebagai wahana diskusi dan bertukar pikiran berbagai unsur akademis, industri, pemerintah, dan masyarakat dalam rangka menemukan penyelesaian terbaik guna menjamin ketersediaan suplai energi di Indonesia,” tutur Adhika lebih jauh. (Humas UGM/Gusti Grehenson)
sumber: ugm.ac.id