Potensi terjadinya longsoran yang akan memicu terjadinya banjir bandang di Sungai Kali (sepanjang jalur Manado-Tomohon, Desa Tinoor) masih cukup besar. Jika terjadi banjir maupun banjir bandang, hal itu akan mengancam lokasi daerah Manado bagian tengah sampai barat. Hal ini dikemukakan oleh tim peneliti dari Teknik Geologi UGM, Prof. Dr. Dwikorita Karnawati, M.Sc saat memaparkan hasil fact finding dan analisis penyebab bencana longsor dan banjir bandang di wilayah Manado dan sekitarnya, Senin (20/1) di R. Sidang Pimpinan UGM.
“Memang belum bisa disebut banjir bandang seperti Wasior atau Bahorok tetapi potensi bahayanya masih mengancam. Apalagi curah hujannya masih tinggi,” kata Dwikorita.
Ia menambahkan longsor dan banjir bandang merupakan fenomena alam yang dikontrol oleh kondisi geologi seperti tektonik yang mengakibatkan kemiringan lereng yang curam dengan susunan batuan yang rapuh di jalur struktur. Tidak hanya itu, rapuhnya susunan batu di lereng yang dipicu hujan yang ekstrim dan getaran gempa bumi akan menyebabkan longsor pula. Bencana longsor dijumpai terjadi di dua areal Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbeda, yaitu DAS Tondano, Kabupaten Minahasa; dan DAS Tumpaan, Kabupaten Tomohon.
Menurut Dwikorita, DAS tersebut memiliki karakteristik yang rentan terhadap gerakan tanah (longsor) dan banjir bandang, terutama akibat kontrol kondisi alam, yaitu kemiringan lereng dan kondisi geologi yang dipicu oleh curah hujan tinggi.
“Selain kemiringan lereng yang curam, litologi yang lapuk dan struktur geologi yang kompleks kejadian longsor di sana juga dipicu adanya proses tektonik aktif gempa,” paparnya.
Hasil fact finding menunjukkan kejadian banjir dan banjir bandang di Manado secara umum diakibatkan adanya curah hujan yang sangat tinggi. Data BMKG pada 15 Januari 2014 menunjukkan curah hujan di DAS Tondano mencapai 215 mm/hari, sedangkan di DAS Tumpaan mencapai 41 mm/hari. Dari hasil pengamatan tersebut tim dari UGM merekomendasikan agar segera dibuat identifikasi zona yang rentan longsor dan banjir, peta risiko bencana, serta pemberdayaan masyarakat untuk mencegah dan mengurangi risiko bencana.
“Idealnya relokasi. Tapi kalau belum memungkinkan maka sistem pemantauan dan peringatan dini bencana longsor dan banjir perlu dikembangkan,” tutur Dwikorita.
Sementara itu Ketua LPPM UGM, Prof. Dr. Suratman, M.Sc mengingatkan dengan adanya perubahan iklim global saat ini masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap munculnya berbagai bencana alam. Bukan hanya longsor maupun banjir. Ia mencontohkan fenomena naiknya permukaan air laut di Pantai Utara P. Jawa.
“Harus ada riset bersama-sama. Jangan hanya per kasus kita selesaikan bareng-bareng tapi harus secara nasional,” kata Suratman.
Sejauh ini LPPM telah banyak berpartisipasi terhadap penanganan bencana di tanah air seperti banjir di Jakarta tahun 2013. Kegiatan ini melibatkan tim DERU (Disaster Response Unit) maupun KKN mahasiswa.
Seperti diketahui bencana longsor dan banjir bandang di Manado terjadi pada Rabu, 15 Januari 2014 lalu, yang dimulai dari hujan deras. Akibat bencana ini 18 orang meninggal dunia, puluhan rumah tertimbun longsor, dan ribuan rumah terendam banjir. (Humas UGM/Satria)
sumber: ugm.ac.id