YOGYAKARTA – Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) yang juga dekan Fakultas Tehnik UGM, Dr. Ir. Tumiran, M.Eng mengatakan, pemerintah tidak perlu mengeluarkan travel warning atau peringatan kepada masyarakat untuk tidak berkunjung ke Jepang akibat bocornya reaktor nuklir di negara Sakura tersebut. Pasalnya menurut Tumiran, kondisi Jepang masih cukup aman untuk dikunjungi. “Saat ini dampak radiasi dari kebocoran itu hanya radius beberapa kilometer saja dan tidak semua wilayah Jepang terkena dampaknya,” paparnya di UGM, Rabu (16/3).
Jika reaktor tersebut meledak kata dia, maka partikel-partikelnya akan terangkat ke udara dan terserap uap air ehingga terbawa angin kemana-mana. Jika itu menjadi hujan maka air yang turun akan terkontaminasi dan jika turun ke sungai juga akan terjadi hal serupa. Namun begitu pergerakannya tidak akan mencapai lokasi yang sangat jauh seperti ke Indonesia.”Masyarakat Indonesia tidak perlu khawatir, jarak Indonesia dan Jepang sangat jauh,” tandasnya.
Menurutnya, upaya mendinginkan reaktor nuklir Jepang di Fukushima tersebut membutuhkan waktu yang tidak pendek. Hal tersebut menurutnya tergantung dari sisa bahan bakar (uranium) yang ada di reaktor tersebut. “Jika uraniumnya masih baru dibutuhkan waktu setidaknya satu hingga dua tahun untuk pendinginan normal tetapi kalau uraniumnya tinggal sedikit itu hanya butuh waktu beberapa hari,” tegasnya.
Berdasarkan informasi, kata dia, paparan radiasi akibat kebocoran reaktor di Fukushima tersebut mencapai 400 milisievert/jam. Jumlah tersebut jauh melebihi ambang batas untuk kesehatan manusia. “Radiasi 100 milisievert/jam saja dampaknya bisa cukup fatal untuk kesehatan manusia apalagi 400 milisievert,” paparnya.
Jumlah paparan radiasi yang biasa diterima manusia setiap harinya hanya 0,15 microsievert/jam atau hanya 35 milisievert/tahun. Sedangkan bagi para pegawai yang bekerja di reaktor nuklir maksimum hanya terpapar radiasi sebanyak 50 milisievert/tahun.
Dampak yang bisa disebabkan akibat tingginya paparan radiasi di Fukushima tersebut terhadap kesehatan masyarakat di sana cukup kompleks. Bukan hanya membakar kulit manusia saja tetapi bisa juga merusak sel-sel tubuh dan dampak terbesarnya mempengaruhi DNA manusia. (Humas UGM/Gusti Grehenson)