Kadin Indonesia berkolaborasi dengan Badan Kejuruan Kimia Persatuan Insinyur Indonesia (BKK PII), Keluarga Alumni Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (KATGAMA), menggelar Seminar Nasional bertajuk “Mendorong Pertumbuhan Industri Kimia berbasis Metanol”. Menurut Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perindustrian Johnny Darmawan, kegiatan yang digelar di University Club, UGM – Yogyakarta, Jumat, 27 September 2019, memiliki beberapa kepentingan.
“Jika kita ingin mengembalikan peran industri sebagai fondasi ekonomi nasional maka struktur industri yang berbasis di hulu perlu mendapatkan perhatian. industri petrokimia dengan methanol sebagai salah satu produk utamanya adalah bagian yang tak terpisahkan karena perannya sebagai pemasok bahan baku untuk berbagai sektor industri lainnya,” terang Johnny Darmawan dalam sambutannya.
Dia menjelaskan, investasi di sektor petrokimia dalam kurun waktu 20 tahun terakhir tergolong minim. Kondisi ini berdampak pada ketergantungan impor yang tinggi lantaan minimnya suplai bahan baku industri hulu petrokimia. Saat ini, kapasitas produksi dalam negeri untuk bahan baku petrokimia baru mencapai 2,45 juta ton. Sementara itu, kebutuhan dalam negeri mencapai 5,6 juta ton per tahun.
Dengan kata lain, produksi dalam negeri baru memenuhi 47 persen kebutuhan domestik. Sisanya, yaitu sebesar 53% harus dipenuhi melalui impor,” tandas Johnny.
Kondisi serupa terjadi pada industri metanol. Di saat kebutuhan akan metanol semakin meningkat, Indonesia baru memiliki satu produsen yang kapasitas produksinya 660 ribu ton per tahun. Alhasil, ketergantungan impor metanol tergolong tinggi. Nilai impor metanol mencapai USD 12 miliar atau setara Rp 174 triliun per tahun. Pasalnya, metanol merupakan senyawa intermediate yang menjadi bahan baku berbagai industri, antara lain industri asam asetat, formaldehid, Methyl Tertier Buthyl Eter (MTBE), polyvinyl, polyester, rubber, resin sintetis, farmasi, Dimethyl Ether (DME), dan lain sebagainya.
“Karena itu, dari sisi kepentingan ekonomi nasional pun pengembangan industri kimia berbasis metanol sangat urgen dan strategis. Di satu sisi, pengembangan industri metanol sangat penting untuk mendukung kemandirian industri, mendukung daya saing industri nasional serta menopang pembangunan industri berkelanjutan. Di sisi ini, akan memangkas defisit neraca perdagangan yang terjadi lantaran ketergantungan tinggi pada impor,” lanjut Johnny.
Alasan lain yang mendasari strategisnya pengembangan industri metanol adalah karena beberapa produk turunannya, seperti biodiesel dan dimetil eter (DME) merupakan bahan bakar alternatif. Dengan demikian, impor minyak yang selama ini membebani neraca dagang RI bisa dikurangi melalui pengembangan industri metanol. Lebih lagi, industri metanol akan mendukung program pemerintah, yakni pengalihan dari bahan bakar berbasis BBM ke biodiesel. Sebaliknya, bila pengembangan industri metanol ditunda, sementara pemakaian biodiesel sebagai bahan bakar semakin berkembang, maka ketergantung impor akan semakin tinggi.
“Dengan berjalannya program B-20 ke B-30 ke B-100 maka diperkirakan pada tahun 2020 kebutuhan metanol akan meningkat menjadi 1,5 juta ton. Kondisi ini membutuhkan antisipasi dini melalui pengembangan industri metanol nasional. Tidak hanya itu. Dengan semakin tingginya permintaan global akan energi ramah lingkungan, metanol bisa menjadi sumber ekspor RI ke mancanegara,” ujar Johnny.
Dia juga menyebutkan sejumlah tantangan yang membutuhkan kehadiran dan peran pemerintah. Tantangan tersebut antara lain ketersedian pasokan gas jangka panjang, harga gas yang kompetitif, insentif khusus, hingga kawasan industri terpadu.
Poin-poin dukungan lain yang diharapkan pelaku usaha dari pemerintah untuk mengembangkan industri kimia berbasis metanol antara lain: Konsisten dan konsekuen terhadap kebijakan dan fokus pada pendalaman struktur Industri hulu petrokimia berbasis methanol. Methanol sangat strategis, dapat bersaing di pasar domestik maupun ekspor dan berpotensi memicu pertumbuhan industri hilir lainnya yang memberikan nilai tambah lebih besar terhadap perekonomian,
“Kita juga membutuhkan adanya keberpihakan dari pemerintah dalam mendukung pengembangan TKDN (Tingkat Kandungan Dalam Negeri) dan pemanfaatan produk dalam negeri dalam memenuhi kebutuhan bahan baku industri,” tandas Johnny.
Ketua Badan Kejuruan Kimia Persatuan Insinyur Indonesia (BKK PII) Ricky Hikmawan menambahkan, gas merupakan unsur penting dalam pengembangan metanol. Karena itu, kontrak jangka panjang, minimal 20 tahun, merupakan hal yang perlu difasilitasi pemerintah. Selain itu, harga gas yang kompetitif, di kisaran USD 3 per MMBTU, akan membuat produk yang dihasilkan lebih kompetitif di pasar domestik maupun global. Saat ini, walaupun merupakan produsen gas, harga gas di Indonesia lebih tinggi dibandingkan tetangga di Kawasan ASEAN, negara-negara di Amerika Utara, dan Timur Tengah. Hal ini berdampak pada daya saing industri methanol dan industri petrokimia serta turunannya secara umum. Dampak lanjutannya adalah industri hilir cenderung mengambil langkah impor produk jadi petrokimia.
Dia menjelaskan, Metanol merupakan produk petrokimia yang memiliki produk turunan yang bervariasi seperti polyolefin, MEG, Acetic Acid, DME/Dimethyl Ether (subtitusi LPG), Formaldehyde, MTBE/Methyl Tertbuthyl Ether (gasoline blending) dan lain sebagainya. Indonesia saat ini masih mengimpor methanol 700 ribu ton, polyolefin 1 juta ton , MEG 400 ribu ton, dan acetic acid 60 ribu ton setiap tahunnya sehingga pembangunan pabrik methanol dan turunannya menjadi sangat penting karena pasokan methanol domestik saat ini hanya disuplai dari satu produsen saja. Pasar metanol dunia juga akan tumbuh seiring dengan tren penggunaan energi ramah lingkungan seperti DME, MTBE, dan campuran diesel sehingga potensi ekspor metanol akan meningkat yang dapat menambah devisa.
Selain itu, industri metanol pun membutuhkan insentif fiskal berupa pengurangan PPh Badan (Tax Holiday) dan pembebasan bea masuk untuk mesin dan peralatan. Sedangkan kawasan industri dibutuhkan untuk memudahkan produksi dan rantai pasok, hingga penerapan kebijakan khusus dari pemerintah.
“Yang utama adalah pentingnya kawasan industri khusus industri kimia berbasis metanol. Bontang merupakan pilihan yang paling strategis saat ini,” Kata Ricky
Ketua Umum Keluarga Alumni Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (KATGAMA) Agus Priyatno menjelaskan beberapa alasan kenapa Bontang merupakan pilihan yang paling strategis sebagai kawasan industri khusus industri kimia berbasis metanol. Kota di Kalimantan Timur tersebut telah memiliki ketersediaan infrastruktur pendukung proyek, seperti lahan, utilitas, dan dermaga. Kondisi ini bisa memangkas biaya proyek hingga 15 persen. Selain itu, pabrik metanol bisa disinergikan dengan pabrik amoniak yang telah ada milik PKT Bontang. Dengan memanfaatkan ekses CO2 sebagai bahan baku metanol maka konsumsi gas akan dikurangi sebesar 3,2 MMSCFD. Selain itu, lokasi ini lebih dekat dengan sumber pasokan gas (Kawasan LNG Badak). Juga lokasi ini minim resiko bencana alam untuk pengembangan industri Methanol dan derivatif, ketersediaan Sumber Daya Manusia mencukupi dengan tingkat pendidikan menengah ke atas dan berkompeten di Industri Kimia serta lokasi pabrik yang strategis untuk ekspor Asia Pasifik maupun pengapalan domestik.
Sejalan dengan rencana pemerintah untuk memindahkan Ibu Kota ke Kalimantan Timur, pilihan pembangunan Industri Kimia di Kalimantan Timur akan sangat bermanfaat. Pasalnya, kebutuhan produk dari turunan metanol sangat banyak dalam memenuhi kebutuhan pembangunan Ibu Kota ke depan. Misalnya, saat ini 80% pembeli metanol adalah industri formaldehid yang menghasilkan adhesives untuk plywood dan industri wood processing lainnya yang merupakan produk interior bagi perkantoran baru.
Dia menjelaskan, Indonesia memiliki ketersediaan bahan baku, SDM, teknologi. Oleh sebab itu, pengembangan industri metanol dalam negeri sangat memungkinkan dalam upaya memenuhi semua kebutuhan industri dalam negeri. Pengembangan Industri Methanol telah masuk dalam rencana strategis dan percepatan pemerintah sesuai dengan PP No.14/2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RI).
“Ini adalah kesempatan yang baik bagaimana Pemerintah mendorong dan memberikan kesempatan seluas-luasnya pada perusahaan swasta dalam mewujudkan pembangunan industri Methanol di Indonesia,” pungkas Agus.
Seminar seri ketiga dari rangkaian seminar yang diselenggarakan Kadin Indonesia, BKK PII, dan KATGAMA. Tujuan utama rangkaian kegiatan ini adalah disusunnya rekomendasi yang komprehensif mengenai percepatan implementasi pembangunan industri petrokimia hulu berbasis methanol berdasarkan aspek kajian dukungan ketersediaan bahan baku, kesiapan pelaku industri, SDM, proses industri dan kebutuhan pasar, sehingga terwujudnya industri nasional berkelanjutan (sustainable industry).
Dekan FT UGM, Prof. Ir. Nizam, Ph.D., IPM., ASEAN Eng. menegaskan pula bahwa untuk membangun kedaulatan bangsa tidak ada pilihan lain selain membangun dan menguatkan industri hulu. Tanpa itu, zaman keemasan Indonesia, kemajuan ekonomi ke depan hanya angan-angan, hanya indah dalam mimpi, tanpa kenyataan. (Humas FT: Purwoko, sumber: press release panitia seminar, dan Dekan FT UGM/Foto: Eko H)