YOGYAKARTA-Perhelatan dunia, International Earth Science Olympiad/Olimpiade Kebumian (IESO 2010) ke-4, hari ini resmi ditutup. Kegiatan yang digelar sejak 19 September lalu ditutup secara resmi oleh Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendiknas, Prof. Suyanto, Ph.D., di University Club UGM. Acara juga dihadiri oleh Rektor UGM, Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng., Ph.D.
Negara-negara yang mendominasi kejuaraan IESO 2010, di antaranya Taiwan, Korea, Jepang, Thailand, Kamboja, dan Philipina. Bahkan, tujuh peserta yang meraih medali emas semuanya berasal dari Asia. Mereka adalah Hung-I Yang (Taiwan), Po-Han Huang (Taiwan), Rio Priandri Nugroho (Indonesia), Jhih-Cing Jhang (Taiwan), Changhyun Choi (Korea), Kazuhiro Noda (Jepang), dan Ho Yeon Shi (Korea).
Prof. Suyanto, Ph.D. dalam kesempatan tersebut mengatakan kompetisi ini diharapkan terus berkembang guna menyelematkan bumi dari bahaya kepunahan, seperti penebangan hutan yang mengakibatkan banjir dan tanah longsor. “Saat ini, masih banyak saudara-saudara kita yang tengah berjuang untuk menyelamatkan bumi dari bahaya kepunahan, seperti penebangan pohon yang menyebabkan banjir dan longsor,” kata Suyanto.
Dengan kompetisi Olimpiade Kebumian ini, Suyanto juga berharap agar tidak terbatas sebagai sebuah capaian akademis, tetapi memuat pesan yang lebih dalam, yakni agar manusia lebih mencintai bumi dan lingkungan. Dikatakannya bahwa Indonesia belum mencapai hasil optimal karena kegiatan ini baru empat kali diadakan. Selain itu, soal dalam kompetisi ini juga tidak terlalu cocok dengan kurikulum yang berlaku. “Memang tidak terlalu sesuai dengan kurikulum kita. Besok bisa kita lakukan beberapa penyesuaian,” katanya.
Sebelumnya, panitia lokal Indonesia yang juga Ketua Jurusan Teknik Geologi UGM, Prof. Dwikorita Karnawati, M.Sc,. Ph.D., mengatakan IESO diawali dengan pertemuan Internasional Geoscience Education Organization (sebuah organisasi pendidikan ilmu kebumian) di New South Wales. Pada pertemuan itu, hampir seluruh negara yang hadir menyatakan prihatin terhadap perkembangan ilmu geologi yang tidak populer di masing-masing negara. “Kami ucapkan terima kasih atas perjuangan dan keikutsertaan dalam kompetisi ini,” tutur Dwikorita.
Sementara itu, pemenang emas dari Indonesia, Rio Priandri Nugroho, mengatakan dominasi peserta dari Asia lebih besar dibandingkan dengan peserta dari Eropa dan negara yang lain. Tentang soal ujian, menurutnya materi soal astronomi dinilai cukup sulit.
Adanya praktik di lapangan dinilainya sebagai pengalaman menarik bagi peserta, seperti kunjungan ke Gua Bribin di Gunung Kidul. Peserta dapat belajar memanfaatkan keberadaan sungai bawah tanah untuk pembangkit listrik. “Saya kira soal astronomi cukup sulit karena di luar dugaan,” aku Rio.
Lomba dalam IESO terdiri atas ujian tertulis dan praktik. Untuk olimpiade kebumian kali ini ada hal yang khusus karena terdapat ujian praktik di lapangan, meliputi bidang geologi, oceanografi, astronomi dasar dan meteorologi. Selain di lapangan, UGM juga menjadi tempat untuk ujian tertulis. Adapun praktik di lapangan berlangsung di kabupaten Gunung Kidul, eks lapangan udara Gading dan Pantai Baron.
Sembilan belas negara yang mengikuti olimpiade kebumian, yaitu Kamboja, Perancis, India, Indonesia, Ukraina, Italia, Jepang, Taiwan, Kuwait, Maladewa, Nepal, Nigeria, Srilanka, USA, Philipina, Rumania, Thailand, Rusia dan Korea, merupakan kegiatan yang diikuti siswa-siswa pilihan hasil seleksi dari negara masing-masing. Peserta IESO tidak hanya dipilih berdasarkan satu pemenang medali emas yang menguasai satu bidang ilmu saja. Mereka harus tahu berbagai bidang studi, seperti oceanografi, meteorologi, astronomi, dan geologi. Indonesia adalah negara yang keempat menjadi tuan rumah penyelenggaraan IESO. Untuk tahun depan, IESO akan diadakan di Italia. (Humas UGM/Satria).