YOGYAKARTA-Energi merupakan salah satu faktor terpenting dalam pembangunan setiap negara di dunia. Kepemilikan dan penguasaan energi mampu menjamin berputarnya roda perekonomian. Semakin mudah akses untuk memperoleh energi, aktivitas dan pertumbuhan perekonomian pun akan semakin meningkat. Dengan demikian, penggunaan energi merupakan ukuran tingkat kemakmuran suatu bangsa. Bangsa yang semakin maju dan sejahtera akan mengonsumsi energi per kapita yang semakin tinggi.
Data menunjukkan negara-negara yang memiliki Gross Domestic Product (GDP) tinggi mengonsumsi energi listrik per kapita yang tinggi pula. Apabila dibandingkan dengan tiga negara maju di kawasan Asia Timur, konsumsi energi per tahun penduduk Indonesia adalah sebesar 0,55 TOE (Ton of Oil Equivalent), sedangkan di Jepang 4,04 TOE, Korea Selatan 4,27 TOE, dan Singapura sebanyak 5,27 TOE. “Sebaliknya, negara-negara tersebut memiliki GDP yang tinggi sehingga apabila konsumsi energi dinyatakan dalam intensitas energi (konsumsi energi untuk menghasilkan GDP 1 juta USD), maka Indonesia nampak masih boros karena memerlukan 702 TOE untuk menghasilkan GDP senilai 1 juita USD, sementara Korea Selatan membutuhkan 350 TOE, Singapura mengkonsumsi 240 TOE, dan Jepang hanya 106 TOE,” rinci Prof. Dr. Ing. Ir. Harwin Saptoadi, M.S.E., ketika menyampaikan pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Fakultas Teknik di Balai Senat UGM, Senin (31/1). Dalam kesempatan tersebut, Harwin mengucapkan pidato berjudul ‘Bahan Bakar Padat dari Bumi Indonesia untuk Kemandirian dan Kesejahteraan Bangsa’.
Harwin menjelaskan konsumsi energi di Indonesia pada umumnya sebagian besar digunakan untuk aktivitas nonproduktif (di sektor rumah tangga dan transportasi) yang hanya sedikit bernilai ekonomis atau menopang industri manufaktur yang boros energi, tetapi menghasilkan komoditas berharga rendah. Sementara itu, di negara maju energi digunakan secara efisien untuk aktivitas produktif yang menghasilkan komoditas berharga tinggi. Kalaupun tidak demikian, negara tersebut pertumbuhan ekonominya ditopang oleh industri jasa yang bernilai ekonomis tinggi, tetapi lebih sedikit memerlukan energi. “Usaha-usaha keras untuk efisiensi energi harus tetap dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa,” imbuh pria kelahiran Denpasar, 2 September 1958 itu.
Meskipun potensi sumber daya energi terbarukan sangat berlimpah, tetapi pemanfaatannya secara riil sebagai pembangkit energi listrik masih sangat kecil. Di sisi lain, diakui Harwin, sumber daya energi biomassa di Indonesia tidak dapat diabaikan. Sebagai bukti, energi tersebut mampu menyumbang 17,59% dari total pasokan energi nasional di tahun 2008, hanya kalah dari minyak bumi (37,01%) dan batu bara (26,24%).
Lebih jauh disampaikan Harwin, biomassa tidak dapat dibandingkan dengan batu bara. Batu bara adalah the real fuel, sedangkan biomassa agak sulit disebut sebagai bahan bakar walaupun mampu terbakar karena kandungan combustibles yang dimilikinya. Tidak terlalu mengherankan seandainya densitas energi dua jenis bahan bakar tersebut jauh berbeda karena biomassa terbentuk hanya dalam orde tahunan, sedangkan batu bara terbentuk setelah puluhan juta tahun.
Salah satu kekurangan biomassa adalah densitas energinya yang rendah. Seandainya biomassa digunakan sebagai bahan bakar utama (tunggal) di suatu pembangkit listrik skala besar, laju volumetris input yang dibutuhkan pasti sangat besar. “Di sisi lain, pemakaian limbah biomassa pada pembangkit listrik skala kecil (lokal) membutuhkan biaya investasi spesifik yang tinggi, operator yang banyak, dan memiliki efisiensi termal yang rendah,” katanya.
Dengan memperhatikan berbagai potensi dan hambatan tersebut, Harwin menawarkan beberapa solusi. Solusi itu adalah co-firing atau co-combustion, yakni pembakaran bersama antara batu bara dan biomassa di ruang bakar PLTU skala besar yang sudah ada. Akan lebih baik seandainya PLTU batu bara berlokasi dekat dengan sumber limbah biomassa (kurang dari 50 km sampai 80 km) sehingga biaya transportasi biomassa tidak terlalu tinggi.
Co-firing lebih terasa bermanfaat bagi batu bara kualitas rendah yang banyak terdapat di Indonesia. Selain itu, ia lebih ramah lingkungan. Sementara itu, co-combustion terbukti lebih ekonomis untuk pembangkit listrik. Di samping itu, sistem pembakaran pada PLTU di Indonesia pada umumnya cocok untuk co-firing bersama dengan biomassa. “Alternatif solusi lain yang termasuk kategori co-combustion adalah biobriket, di mana biomassa dicampur dengan batu bara kemudian dimampatkan menjadi briket,” pungkas dosen Jurusan Teknik Mesin dan Industri Fakultas Teknik UGM itu. (Humas UGM/Satria AN)