Gempabumi berkekuatan 8,9 sekala Richter disertai tsunami telah mengguncang Jepang pada tanggal 11 Maret 2011. Pusat gempa tepat berada 130 km di lepas pantai timur kota Sendai atau 400 km di timur laut kota Tokyo pada kedalaman 24,4 km. “Gempabumi ini menimbulkan gelombang tsunami yang dahsyat setinggi 10 m di sekitar kota Sendai. Kita prihatin dengan peristiwa ini, namun dari peristiwa ini kita bisa belajar banyak bagaimana pemerintah Jepang beserta rakyatnya menangani fase responsif di dalam manajemen bencana gempabumi,” ujar Dr. Subagyo Pramumijoyo di kampus UGM, Kamis (17/3) menanggapi kejadian bencana Jepang.
Kata Subagyo dari jarak 130 km dari pusat gempabumi, kota Sendai akan menerima sinyal gelombang P yang berkecepatan kurang lebih 6 km/detik setelah 21,6 detik dan gelombang S yang berkecepatan 4 km/detik yang merusak akan tiba di Sendai setelah 32,5 detik. Jadi sesungguhnya masih ada selisih 10,9 detik untuk mengingatkan masyarakat bahwa akan datang gempabumi dahsyat, sementara di Tokyo yang berjarak 400 km dari pusat gempa masih memiliki selisih kedatangan gelombang P dan S sebesar 33,4 detik. “Dengan demikian penduduk Sendai sebenarnya masih punya beberapa menit untuk menghindar dari gelombang tsunami yang akan datang menyapu kawasan pantai,” katanya.
Dosen Jurusan Teknik Geologi FT UGM inipun menyampaikan data bahwa di kota Sendai sekitar duapuluh ribu rumah rusak dan diperkirakan duapuluh ribuan yang meninggal. Selain itu pemerintah menerjunkan limapuluh ribu pasukan beladiri (tentara) Jepang dan NHK langsung melakukan peliputan tsunami di wilayah yang diterjang tsunami dengan helikopter. “Sebab di Jepang organisasi hirarkis terbaik adalah organisasi tentara,” papar Subagyo Pramumijoyo.
Dari berbagai informasi dan tayangan televisi, Subagyo berpendapat masyarakat Jepang telah memiliki kesadaran dan kesiapsiagaan bencana gempa. Mengingat negara dalam wilayah rawan gempa, mereka telah mendapatkan itu semua melalui sosialisasi bencana gempabumi. “Mereka pada mencari tempat berlindung terdekat, di kolong meja ataupun dimana mereka merasa aman. Masyarakat terkesan sudah sangat terlatih dengan bencana gempa,” tambahnya.
Disamping itu, masyarakat Jepang dinilai memiliki budaya disiplin dan kejujuran yang tinggi. Hal itu tercermin saat mereka menghadapi bencana gempa. “Saya rasa tanpa disiplin yang tinggi masyarakat tidak akan tenang menghadapi gempabumi. Mereka tetap antri dengan tertib untuk memperoleh jatah bantuan pasca gempa utama terjadi. dan harga-harga di Tokyo masih stabil. Berbeda dengan pengalaman saat gempabumi di Yogyakarta 2006, harga sekotak supermi pun bisa menjadi tiga kali lipat,” lanjut Subagyo.
Demikian pula dengan penanganan reaktor nuklir di Fukushima, pemerintah Jepang langsung merespon dengan cepat menyatakan darurat nuklir. Pemerintah pun dengan segera mengevakuasi 200.000 rakyatnya dari radius 20 km dari reaktor nuklir. “Kita tentu dapat belajar bagaimana membangun reaktor nuklir, tidak saja membangun namun bagaimana bisa membekali para pengelola nuklir dengan disiplin tinggi,” jelasnya.
Meski masih dalam penanganan para ahli, tingkat radiasi saat ini telah mencapai 160 kali tingkat radiasi normal. Bahkan empat hari setelah kerusakan reaktor nuklir Fukushima, masyarakat Tokyo yang berjarak 250an km telah mendapat himbau untuk tetap tinggal di dalam rumah karena dikhawatirkan akan terkena debu nuklir. “Lagi-lagi kita bisa belajar dari peristiwa ini. Kalaupun tetap pada keinginan membangun reaktor nuklir tentu kita dapat memilih tempat yang paling aman dari bencana terutama gempabumi. Dengan berbagai pertimbangan ekonomi kita memang diharapkan bisa memiliki reaktor nuklir, tetapi perlu dipertimbangan kemana limbah akan dibuang,” pungkasnya. (Humas UGM/ Agung)