Ketertarikannya pada dunia mengajar mengantarkannya pada sebuah keputusan besar. Ketertarikan ini sudah ada sejak SMA. Aris kerap membantu teman-temannya belajar persiapan ujian. Juga ketika kuliah, melalui belajar bersama atau menjadi asisten dosen.
Masuk Teknik Geologi UGM tahun 2003 dan lulus tahun 2007, Aris memiliki prospek karir yang cemerlang. Predikat lulusan tercepat memperlihatkan kemampuannya dalam mencerap ilmu Teknik Geologi.
Setelah lulus, Aris pernah tes beasiswa. Ingin jadi dosen. Namun orang tua menginginkannya bekerja. Aris tahu maksud orang tuanya. Memperbaiki nasib keluarga. Iapun mengurungkan niatnya.
Berangkat dari kondisi keluarga yang kurang mampu, Aris punya keyakinan bahwa keadaan keluarganya akan membaik. Sebagai anak pertama, Aris termotivasi untuk mengubah keadaan ini. Motivasi itu juga berimbas pada lingkungannya.
Aris juga tergerak untuk membantu anak-anak yang terbatas untuk bisa bersekolah. “Sehingga kelak mereka berkesempatan mengubah nasib mereka dengan menjadi agent of change bagi diri dan keluarga serta bangsa,” kata Aris.
Pada tahun 2008, usaha perubahan pertama pada keluarganya mengantarkan Aris bekerja pada BUMN terkemuka di Indonesia: Pertamina.
“Lima tahun saya bekerja di pertamina EP. Meski harus menahan hal yang bertentangan dengan diri saya. Saya niatkan untuk membantu mengubah kondisi keluarga. Alhamdulillah terjadi perbaikan,” lanjut Aris.
Kegelisahannya pada pendidikan anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di Sabah mengantarkannya pada pilihan untuk berhenti. Aris menyampaikan keinginan pada ibunya. Ingin berhenti bekerja, mengejar mimpinya untuk mengajar. Ibunya setuju.
Aris resmi berhenti bekerja tahun 2013. Setelah 5 tahun di Pertamina. Memilih mengajar di Sabah, pada program Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tidak berhenti di sini. Setahun setelahnya, tahun 2014 Aris bersama kawan-kawannya mendirikan Sabah Bridge. Sebuah wadah untuk mengantarkan anak-anak Sabah mendapatkan pendidikan yang lebih baik di luar Sabah.
Apa yang dilakukan Aris berhasil. Kini Aris menjadi pengasuh untuk 51 anak-anak TKI dan guru mata pelajaran di SMA Muhamaddiyah 1 Ngawi.
Mulanya, Ayahnya agak keberatan. “Sayang melepas Pertamina. Tapi setelah berdiri Sabah Bridge dan melihat anak-anak kuliah, lalu saya buat buku, Ayah akhirnya mendukung,” jelas Aris.
*****
Saat ini Sabah Bridge telah mengantarkan 28 siswa pada angkatan pertama, angkatan 2 sekitar 26, angkatan 3 sekitar 13, angkatan 4 berjumlah 78 siswa. Serta angkatan 5 sekitar 165-an siswa. Total sekitar 300 yang dikirim ke Jawa. Selain itu ada pula siswa jalur mandiri yang juga dibantu oleh SB serta dibina selama bersekolah di Indonesia hingga ke bangku kuliah.
*****
Meski dulu ditolak para orang tua, dan kemudian orang tua berbalik mendukung, mengelola SB tetap memiliki tantangan. “Melakukan pembinaan yang komprehensif selama anak-anak belajar 3 tahun di Indonesia”, demikian tantangan pertama yang Aris sampaikan. Hal ini tentu saja karena perbedaan budaya, bahasa, suku, dan karakter.
Tantangan lainnya, menurut Aris, dibutuhkan pendidik yang lebih banyak (bukan hanya sekedar guru), yang mau berkomitmen dan berdedkasi untuk merawat mereka selama bersekolah.
****
Aris bisa tersenyum lega. Kini SB punya embrio muda yaitu PIP (Permata Ibu Pertiwi). “Ibaratnya ini SB junior. Digerakkan oleh alumni beswan Sabah Bridge dan non-SB asal Sabah yang sudah berkuliah di Indonesia. Pusatnya di Jogja,” ungkapnya.
Berbagai pihak turut membantu pengembangan SB ini. Mulai dari Kemendikbud, Kemenlu, KBRI Kuala Lumpur, KJRI Kota Kinabalu, KRI Tawau, SIKK, Pihak Imigrasi Malaysia, Pendidik Indonesia untuk Anak TKI, Para Koordinator Penghubung (KP), Pihak Ladang dan Perusahaan, Para Donatur Sabah Bridge, PT. Pertamina EP, KAGEOGAMA, serta pihak lainnya.
Keberhasilan Sabah Bridge ini berbuah manis. Bulan Agustus 2017, Aris mendapatkan penghargaan guru berdedikasi dan berprestasi (GURDASUS) Nasional Agustus 2017. Serta pada bulan November di tahun yang sama, Sabah Bridge dianugerahi penghargaan The Hassan Wirajuda Perlindungan WNI Award dari Kementrian Luar Negeri, atas dedikasinya pada dunia pendidikan.
Namun masih ada impian besar Aris tentang Sabah Bridge yang belum terlaksana: membuat sekolah sendiri, dan mengelola anak-anak TKI.
“Dari 20 juta, ke 14.25 juta. Sekarang 460 ribu. Transformasi gaji yg unik. Tapi Allah ga’ pernah berhenti menurunkan bonus pada saya, keluarga, dan anak-anak” ungkapnya.
Orang tua tetap mendukung. “Jaga kesehatan,” kata Aris tentang pesan orang tuanya. Aris mengakui kalau dirinya sering mengabaikan kesehatan. GERD yang dideritanya menjadikan kondisi kesehatannya menurun.
“Tapi Saya tetap semangat. Kalau tidak, bagaimana Sabah Bridge bisa membantu menjadi jembatan perubahan?”, pungkasnya. (Humas FT: Purwoko/Foto: Aris Prima)